Ahad 04 Aug 2019 23:23 WIB

Definisi Mukmin yang Kuat

Derajat keimanan dan ketakwaan seseorang ternyata tidak sama di hadapan Allah SWT

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Derajat keimanan dan ketakwaan seseorang ternyata tidak sama di hadapan Allah SWT. Sebagaimana berlaku di berbagai golongan dan kelompok, levelisasi keimanan pada orang beriman juga terjadi.

Contohnya, pada institusi kepolisian. Kendati sama-sama anggota polisi dan memakai seragam yang sama, pangkat masing-masing mereka tidaklah sama. Ada yang jenderal, komandan, dan ada pula yang prajurit.

Demikian pulalah yang terjadi pada keimanan setiap orang beriman. Kendati sama-sama orang beriman, di hadapan Allah ada level-level keimanan yang diraih seseorang. Orang beriman yang paling tinggi derjatnya adalah mereka yang paling dicintai oleh Allah SWT. Semakin dekat ia dengan Allah, semakin tinggilah derajat keimanannya. 

Lalu, siapakah mereka yang paling dicintai Allah itu? Hadis dari Abu Hurairah RA menyebutkan, "Orang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada orang beriman yang lemah dan pada keduanya ada kebaikan." (HR Muslim).

Tentu saja orang yang kuat lebih baik kualitas ibadahnya daripada mereka yang lemah. Secara logika saja, orang yang kuat secara fisik akan lebih mampu untuk memperbanyak intensitas dan kualitas ibadah ketimbang orang yang lemah.

Orang yang kuat secara ekonomi akan mampu berinfak dan bersedekah lebih banyak ketimbang orang yang perekonomiannya lemah. Jadi, salah satu upaya untuk meraih kecintaan Allah dan menggapai derajat keimanan yang lebih tinggi adalah dengan menjadi mukmin yang kuat.

Lantas, kuat seperti apakah yang dimaksudkan dalam hadis tersebut?

Imam Nawawi mendefinisikan kuat dalam Hadis Riwayat Muslim tersebut adalah kuatnya tekad untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah SWT. Sudah menjadi karakter dan tabiat bagi orang beriman untuk berlomba-lomba memburu kebaikan dan ketaatan kepada Allah.

Para sahabat Nabi SAW selalu mencari tahu, apa sunah Nabi mereka yang belum sempat mereka kerjakan. Jika ada momentum melakukan kebaikan, mereka tak ingin ketinggalan, apalagi mengabaikannya.

sumber : Dialog Jumat Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat 258)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement