REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Afthonul Afif
Kehidupan selalu memiliki dua sisi yang berbeda. Ada siang, ada malam. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada baik, ada buruk. Ada keberuntungan, ada kemalangan. Ada kebahagiaan, ada kesedihan. Dan, masih banyak lagi contoh yang lain.
Allah SWT pasti punya maksud baik menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan. Hanya saja, kita sering melupakan dan tidak berusaha mencari makna di balik hukum Allah SWT tersebut.
Sebut saja, kita cenderung lebih siap untuk merasakan kebahagiaan dan menerima keberuntungan, daripada merasakan kesedihan dan menghadapi kemalangan. Hal ini tentu sangat manusiawi.
Namun, harus juga dipahami bahwa kita baru benar-benar berhak atas kebahagiaan hakiki jika mampu mengatasi dan menerima segala sesuatu yang menjadi sumber ketidakbahagiaan itu sendiri.
Allah SWT akan mencintai hamba-Nya yang kuat dan tabah dalam menghadapi segala permasalahan hidup. Dalam setiap ketabahan hamba-Nya, ada kompensasi setimpal yang layak diterima, sebagaimana dituturkan sebuah hadis berikut.
"Setiap keletihan, penyakit, kegelisahan, kesedihan, perlakuan jahat, dan kegalauan yang menimpa seorang Muslim, hingga duri yang menusuknya sekalipun, semua itu akan menyebabkan Allah menghapuskan kesalahan (dosa-dosanya)" (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).
Namun, bagi pribadi yang bijak, janji Allah SWT di atas bukanlah tujuannya. Janji Allah SWT hanyalah buah dari keikhlasan, kesabaran, dan ketabahannya dalam menerima setiap takdir yang dititahkan-Nya. Jika kita ikhlas, sabar, dan tabah, musibah seberat apa pun akan terasa ringan, karena kita yakin Allah SWT selalu bersama kita.
Keikhlasan dan kesabaran Nabi Ayub AS dalam menanggung penyakitnya, ketabahan Nabi Musa AS dalam menghadapi penindasan Firaun, kiranya dapat menjadi teladan kita untuk lebih sabar dan ikhlas dalam menerima dan menghadapi setiap permasalahan kehidupan.
Patut kita renungkan, andai kata kehidupan ini hanya memiliki satu sisi, dan meniadakan sisi yang lainnya, tentu kita tidak akan tumbuh menjadi hamba yang bijaksana. Sebab, kita hanya mungkin mengetahui kebaikan dan kebahagiaan, hanya ketika kita juga mengetahui bahwa ada keburukan dan kesedihan dalam hidup ini.
Memang, bukan persoalan mudah menjadi pribadi yang bijaksana di tengah kehidupan yang cenderung menempatkan sukses material sebagai satu-satunya indikator kebahagiaan seperti sekarang ini. Tapi, jika kita meyakini kekuasaan dan kasih sayang Allah SWT, hal itu bukanlah persoalan yang mustahil.