REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Daya saing Indonesia di dunia internasional masih tergolong menengah. Meski peringkat dari IMD World Competitiveness Ranking 2019 menaikkan peringkat bangsa ini dari posisi ke-43 menjadi ke-32, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Peringkat Indonesia masih kalah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Pasalnya, Singapura menempati posisi pertama, Malaysia ke-22, dan Thailand di posisi ke-25. Pa dahal, tingkat demografi bangsa ini jauh melampaui tiga negara tersebut.
Wakil ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Sri Astuti Buchary menilai umat Islam bisa berkontribusi dalam mening katkan daya saing negara. "Menurut Menteri Pertahanan Malaysia, orang Islam itu harus memikirkan fundamental Islam yang selama ini sudah banyak ditinggalkan, yaitu gotong royong, perdagangan, ilmu, dan lainnya," ujar dia saat dihubungi Republika.
Ia melanjutkan, saat ini daya saing Amerika Serikat (AS) dan Eropa sedang menu run, lalu muncullah kekuatan Cina. Melihat fakta tersebut, para Muslim harus segera ikut dalam perubahan itu. "Kalau kita pikir lagi, di Asia Tenggara ada tiga negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, yakni Indonesia, Malaysia, serta Brunei Darussalam. Seharusnya ketiga ini bisa bersatu berunding untuk membuat seminar dan sebagainya," tutur Sri.
Rakyat Indonesia masih menjadi pengguna teknologi terbesar untuk 5G milik Cina dan 4G milik AS. Padahal, dia mengatakan, seharusnya Indonesia bisa membuat platform teknologi sendiri yang dilindungi negara. Dengan begitu, masyarakat di Tanah Air tidak selalu bergantung kepada negara luar. "Bayangkan kalau 5G Cina dan 4G AS ditutup, kita akan keteteran sendiri," ujar dia.
Sri yakin Indonesia sudah mampu membuatnya. Menurut dia, banyak orang pintar di negeri ini yang telah menorehkan prestasi di mancanegara. Ia menambahkan, peme rintah harus mengumpulkan sekaligus memberi wadah un tuk orang-orang cerdas tersebut. "Dengan cara itulah Cina bisa melaju dari negara miskin ke negara berpendapatan menengah dan berhasil melewati middle income trap," kata dia.
Pada 2016, tambahnya, Cina memiliki 4,7 juta lulusan baru atau sarjana di bidang science, technology, engineering, and mathematics (STEM). Sementara, AS hanya punya 568 ribu sarjana STEM, tetapi sudah ma mpu memiliki daya saing tinggi.
Indonesia, kata Sri, mempunyai sekitar 206 ribu lulus an STM. Karena itu, dia meni lai seharusnya Indonesia juga bisa lebih berkembang. "Pemerintah mungkin masih si buk dengan infrastruktur, tetapi jangan sampai melewat kan orang-orang pintar kita," ujarnya.