Selasa 20 Aug 2019 19:24 WIB

Industri Desak Pemerintah Selesaikan Realisasi Impor Garam

Impor garam industri masih tersisa sebesar 1,1 juta ton hingga akhir tahun.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pekerja memanen garam di lokasi tambak garam yang dikelola PT Timor Livestock Lestari di desa Nunkurus Kabupaten Kupang, NTT (20/8/2019).
Foto: Antara/Kornelis Kaha
Pekerja memanen garam di lokasi tambak garam yang dikelola PT Timor Livestock Lestari di desa Nunkurus Kabupaten Kupang, NTT (20/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan impor garam industri yang masih tersisa sebesar 1,1 juta ton hingga akhir tahun. Sebab, sampai saat ini, stok persediaan garam di seluruh industri sudah mencapai ambang kritis yakni 77 ribu ton. 

Sekretaris Jenderal AIPGI Cucu Sutara menuturkan, total tersebut terbilang sangat sedikit apabila dibanding dengan kebutuhan semua industri yang mencapai 2,7 juta ton per tahun atau sekitar 225 ribu per bulan. Kebutuhan tersebut dapat lebih tinggi apabila ada situasi signifikan.

Baca Juga

"Misal, lebaran atau tahun baru," ujarnya ketika ditemui usai rapat koordinasi di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (20/8). 

Cucu menjelaskan, kuota impor garam industri sepanjang 2019 adalah 2,7 juta ton. Sampai akhir Juni, realisasi impor tersebut baru mencapai 1,54 juta ton. Total tersebut termasuk untuk kebutuhan aneka pangan dan industri lain seperti chlor alkali plant (CAP) hingga pulp dan kertas. 

Cucu menuturkan, pihak industri tidak berencana meminta impor tambahan. Mereka hanya menunggu penyelesaian realisasi impor yang masih kurang 1,1 juta ton tersebut. "Karena ini kebutuhannya sangat mendesak," tuturnya. 

Dampak kekurangan stok bahan baku tersebut bahkan sudah memberikan dampak negatif terhadap industri. Cucu menyebutkan, sejumlah perusahaan anggota AIPGI kini sudah ‘merumahkan’ karyawannya dan memberhentikan kegiatan produksi. 

Salah satu perusahaan yang disebutkan Cucu adalah PT Cheetham Garam Indonesia. Perusahaan jaringan Cheetham Salt Australia ini sudah merumahkan 180 orang karyawan karena sudah kehabisan bahan baku. Mereka dikenal sebagai supplier aneka pangan yang besar seperti Indofood, Unilever, termasuk Ajinomoto, dan industri lain. 

Cucu memperkirakan, stok 77 ribu ton yang ada di gudang seluruh industri saat ini hanya dapat bertahan sampai September. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan surat perizinan impor ataupun rekomendasi teknis sejak sekarang.

"Karena prosesnya kan lama, satu sampai dua bulan dari cari kapal sampai proses bongkar muat," katanya. 

Untuk memenuhi sisa kebutuhan garam, Cucu mengakui, industri masih sulit menggunakan garam petani lokal. Sebab, garam lokal belum dapat memenuhi persyaratan standar industri. Misalnya, kandungan NaCL di atas 97,5 persen dan kadar air maksimum 0,5 persen. 

Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan, kebutuhan industri terhadap garam impor masih tinggi. Sebab, spesifikasi garam yang dibutuhkan pada industri makanan dan minuman belum dapat terpenuhi oleh produksi lokal. 

Abdul menuturkan, lahan garam seluas 2.600 hektare di Nusa Tenggara Timur (NTT) diharapkan dapat membantu menjawab kebutuhan industri terhadap garam yang sesuai spesifikasi. "Semua yang investasi di sana, kami minta untuk menghasilkan garam industri," ujarnya. 

Tapi, Abdul mengakui, hasil produksi dari lahan garam NTT tidak dapat didapatkan dalam waktu dekat. Ia memperkirakan, petani baru dapat memanennya pada 2021. Selanjutnya, ia mengajak pengusaha untuk memaksimalkan hasil produksi tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement