Kamis 29 Aug 2019 16:33 WIB

Darmin: Bahan Bakar B-30 Diterapkan Oktober 2019

Penggunaan B-30 akan mengurangi impor solar 3 juta kiloliter.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Petugas menunjukkan sampel bahan bakar B30 saat peluncuran uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6). Uji jalan kendaraan berbahan bakar campuran biodiesel 30 persen pada bahan bakar solar atau B30 dengan menempuh jarak 40 ribu dan 50 ribu kilometer tersebut bertujuan untuk mempromosikan kepada masyarakat bahwa penggunaan bahan bakar itu tidak akan meyebabkan performa dan akselerasi kendaraan turun.
Foto: Prayogi/Republika.
Petugas menunjukkan sampel bahan bakar B30 saat peluncuran uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6). Uji jalan kendaraan berbahan bakar campuran biodiesel 30 persen pada bahan bakar solar atau B30 dengan menempuh jarak 40 ribu dan 50 ribu kilometer tersebut bertujuan untuk mempromosikan kepada masyarakat bahwa penggunaan bahan bakar itu tidak akan meyebabkan performa dan akselerasi kendaraan turun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan bahan bakar biodiesel 30 persen atau B-30 ditargetkan mulai bulan oktober mendatang. Penerapan itu dilakukan satu bulan setelah uji coba B-30 pada mesin kendaraan bermotor rampung pada September. 

Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan, realisasi penggunaan B-20 pada kendaraan hingga kini sudah mencapai 97,5 persen. Karena itu, pemerintah ingin agar bauran energi kendaraan bermotor dengan minyak sawit terus ditingkatkan. 

Baca Juga

"Pengetesan B-30 akan selesai pertengahan September. Sejauh ini tidak ada hal yang negatif. Mudah-mudahan kita bisa melaksanakan (penerapan) Oktober atau November sudah bisa," kata Darmin dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (29/8). 

Darmin menjelaskan, penggunaan B30 akan mengurangi penggunaan bahan bakar solar yang diimpor sekitar 3 juta kiloliter per tahun. Hal itu juga sebagai alternatif pemanfaatan minyak sawit di tengah larangan penggunaan penggunaan produk sawit di kawasan Eropa. 

"Setelah pengetesan selesai kita akan berdiskusi dari hasil yang diperoleh. Jadi ya paling lambat November juga bisa (diterapkan)," katanya menambahkan. 

Pihaknya menjelaskan, perusahaan-perusahaan kelas kakap bidang pengolahan kelapa sawit tengah memulai feasibility studies (FS) atau studi kelayakan terkait bahan bakar B-100. Untuk menghasilkan B100 setidaknya dibutuhkan investasi sekitar 20 miliar dolar AS dari swasta. 

Pemerintah, kata Darmin, tidak berinvestasi untuk itu tetapi swasta yang menjadi pemain langsung. Sebab, mereka yang harus mempertahankan agar komoditas kelapa sawit bisa terus digunakan seiring larangan penggunaanya di Eropa. 

Perlu waktu tiga hingga empat tahun ke depan untuk mengkaji penggunan B-100. Namun, untuk bisa mulai menerapkan B-100 paling cepat dapat diwujudkan lima tahun dari sekarang, asalkan ada komitmen investasi dan tidak menemui kendala berarti dalam penggunaan teknologinya. 

"Mudah-mudahan lima sampai enam tahun dari sekarang kita bisa hasilkan B-100 sebanyak 7 juta kilo liter. Ini disebut juga green diesel dan bisa menjadi avtur," ujar Darmin. 

Namun, sebelum B-100, Darmin menyebut pemerintah dan swasta terlebih dahulu akan melakukan uji coba B-65. Hal itu perlu dilakukan sebagai proses tahapan bauran bahan bakar minyak 100 persen dari biodiesel yang dihasilkan dari kelapa sawit. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement