Oleh: Dian Widiyanrko, Penulis dan Jurnalis Senior.
Suatu hari, Gubernur Abu Musa Al-Asyári menulis surat untuk Khalifah Umar bin Khatab RA. Kepada pemimpin umat Islam itu, Abu Musa mengaku bingung atas surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya. Surat begini tentu memyulitkan dan membingungkan dalam soal pengarsipan.
Saat itu, umat Islam memang masih memakai kalender yang diadopsi dari peradaban Arab pra-Islam, yang memang tidak mengenal angka tahun, hanya tanggal dan bulan saja. Tahun sendiri ditandai dengan peristiwa besar yang terjadi di tahun itu.
Contohnya, tahun saat Nabi Muhammad SAW lahir disebut Tahun Gajah, sebab di tahun itu ada upaya perobohan Ka’bah oleh Abrahah dan pasukan gajahnya, yang digagalkan oleh sekawanan burung (ababil).
Kalender pra-Islam itu tetap dipakai Rasulullah dengan penyempurnaan. Misal mengembalikam bulan menjadi 12, tidak memaju-mundurkan bulan atau hari sekenanya seperti yang dilakukan masyarakat jahiliyah, dan lain sebagainya. Ini sesuai firman Allah di Al Quran Surat At Taubah ayat 36-37. Lalu dalam mengawali bulan juga dengan sistem melihat posisi bulan (hilal).
Meski demikian kalender itu tetap tidak memakai tahun. Karenanya masih memiliki kelemahan seperti yang dikeluhkan oleh Abu Musa tersebut. Meresponshal tersebut, Khalifah Umar kemudian mengumpulkan para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib RA, Utsman bin Affan RA, Abdurrahman bin Auf RA, Sa’ad bin Abi Waqqas RA, Zubair bin Awwam RA, dan Thalhan bin Ubaidillah RA, untuk membahas mengenai kalender Islam.
Dalam pembahasan disepakati tetap menggunakan sistem kalender yang ada (kalender pra-Islam yang disempurnakan Rasulullah), namun terjadi perbedaan pendapat mengenai kapan tahun pertama atau awal kalender Islam ini. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad atau kelahiran Rasulullah, sebagaimana tahun mesehi dihitung dari kelahiran Yesus atau Isa Al Masih, ada yang mengusulkan peristiwa isra’ mi’raj, ada yang mengusulkan saat Rasulullah menerima wahyu atau diangkat jadi nabi, bahkan ada yang usul hari di mana Rasulullah wafat.
Saat itu Ali bin Abi Thalib RA memiliki usul lain, yaitu berdasarkan peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah). Sebab hijrah ini adalah momentum yang penting dalm peristiwa besar dalam Islam. Hijrah adalah pengorbanan besar pertama Rasulullah dan pengikutnya demi keyakinan Islam. Hijrah juga merupakan simbol perpindahan dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat madani di bawah peradaban Islam, dan masih banyak lagi makna hijrah yang sangat penting bagi umat Islam.
Maka menjadikan hijrah sebagai tonggak awal tahun di kalender Islam tentu lebih bermakna dibanding dari hari kelahiran Nabi. Sebab itu bisa mengarah ke kultus individu yang justru tidak diperbolehkan dalam Islam.
Lalu semua setuju dengan usulan Ali, dan ditetapkanlah tahun pertama dalam kalender Islam adalah tahun di mana Rasulullah hijrah. Ini yang membuat kalender Islam dikenal pula dengan nama kalender hijriyah. Penetapan ini terjadi pada tahun 17 hijriyah atau 17 tahun setelah hijrahnya Nabi (atau tahun 638 masehi).
Kalender hijriyah memakai sistem peredaran bulan atau qomariyah, tidak seperti kalender masehi yang memakai sistem matahari atau syamsiyah. Selain itu, jika pergantian hari kalender masehi di mulai pukul 12 malam, kalender hijriah hari berganti saat matahari terbenam. Kalender hijriyah juga lebih pendek 11 hari dari kalender masehi.
Keterangan foto: Tradisi Kraton Yogyakarta dalam memperingati tahun baru hijrah/saka: ritual mubeng benteng.
Sekitar seribu delapan belas tahun setelah kalender hijriyah lahir, tepatnya pada 1035 hijriyah, Sultan Agung, raja kerajaan Mataram, mengadopsi kalender tersebut. Mataram sebagai kerajaan Islam di Jawa memutuskan mengadopsi kalander hijriyah dan meninggalkan sistem perhitungan kalender Saka. Sebelumnya masyatakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India.
Namun untuk tahunnya Sultan Agung, tetap menggunakan tahun Saka bukan tahun hijriyah. Keputusan Sultan Agung ini dibuat pada tahun 1625 Masehi/1547 Saka. Sistem kalender ini kemudian disebut dengan kalender Jawa atau kalender Sultan Agung.
Secara sistem kalender dia sama dengan kalender Hijriyah, tapi tidak mengharuskan melihat hilal, namun tahunnya memakai tahun Saka. Tapi meski tahu Sakanya sama, awal tahun berbeda dengan kalender Saka yang masih dipake umat Hindu. Karena tahun baru Saka setelah nyepi, sementara tahun baru Jawa bersamaan dengan tahun baru Islam.
Makanya nama hari Jawa juga mengikuti nama bilangan Arab/Islam: Ahad (ngahad), Itsnayn (senen), Tsalaatsa' (seloso), Arbaa-a (rebo), Khamsah (kemis), Jumu'ah (jemuah), Sabt (setu). Ini yang dipake nama hari di Indonesia sampai sekarang.
Cuma ahad yang berganti jadi minggu. Pergantian ini terjadi saat penjajah Portugis masuk Nusantara, lalu mengganti nama ahad menjadi domingo (hari mereka beribadah pada Tuhan). Oleh lidah pribumi, nama domingo ini diucapkan jadi dominggu, lama-lama jadi minggu.
Tak hanya itu, ahad yang artinya hari pertama dan merupakan awal hari dalam sepekan, kemudian jadi akhir pekan. Kenapa hari minggu yang asalnya awal pekan berubah jadi akhir pekan? Silahkan baca sejarah mengenai Kaisar Konstantine dan Hari Dewa Matahari atau Sun Day yang menggantikan Sabat.
Lalu kalender masehi mulai dipakai dan menjadi kalender internasional. Nusantara yang kemudian jadi Indonesia pun memakai kalender ini. Meski demikian, kalender hijriyah tetap dipakai masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, sebab ini terkait dengan waktu ibadah. Sementara masyarakat Jawa juga tetap memakai kalender Jawa (kalender Sultan Agung).
Maka di Indonesia, terutama di Jawa, jamak kita jumpai kalender “hibrid” yang dalam satu halaman menggabungkan tiga kalender yang ada.
Sampai di sini semoga bisa menjawab mengenai sejarah kalender hijriyah dan kalender Jawa, dan mengapa tahun barunya bisa bersamaan.
Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 dan Selamat Tahun Baru Jawa 1 Suro Dal 1954