Jumat 06 Sep 2019 05:30 WIB

Penerimaan Negara Berkurang Rp 87 T Jika PPh Badan Dipangkas

Pemerintah juga mengurangi tarif PPh badan go public dengan persyaratan tertentu.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Robert Pakpahan memprediksi, penerimaan pajak pada 2021 berpotensi hilang hingga Rp 52,8 triliun. Hal ini sebagai dampak dari kebijakan penurunan Pajak Penghasilan (PPh) dari 25 persen menjadi 22 persen pada tahun yang sama.

Sementara itu, Robert menambahkan, potensi kehilangan apabila pemangkasan PPh badan dilakukan sampai 20 persen adalah Rp 87 triliun. "Ini bisa terjadi pada 2023," tuturnya dalam diskusi dengan media di Gedung DJP Kemenkeu, Jakarta, Kamis (5/9).

Baca Juga

Penurunan PPh badan merupakan salah satu kebijakan yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau kerap disebut RUU Perpajakan. RUU yang tengah dibahas pemerintah ini membahas mengenai fasilitas perpajakan dan insentif perpajakan.

Dalam skema RUU Perpajakan, tarif PPh badan akan turun secara bertahap. Yakni dari 25 persen, menjadi 22 persen di tahun pajak 2021 dan tahun pajak 22, serta menjadi 20 persen pada tahun pajak 2023. Meski berpotensi mengurangi pendapatan negara, Robert menyebutkan, kebijakan ini akan memberikan ruang pendanaan dari dalam negeri untuk menambah investasi dan meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI).

Selain penurunan PPh badan, Robert menambahkan, pemerintah juga memasukkan pengurangan tarif PPh badan go public dengan persyaratan tertentu. "Mereka bisa dapat tiga persen lebih rendah dari tarif normal (20 persen), yakni jadi 17 persen," ujarnya.

Hanya saja, perusahaan yang mendapatkan insentif adalah perusahaan go public dengan minimal 40 persen sahamnya diperdagangkan ke masyarakat. Apabila sebuah perusahaan go public menawarkan saham ke publik di bawah persentase tersebut, diskon tarif lebih rendah tidak akan didapatkan perusahaan. Skema pemberian diskon akan berlangsung selama lima tahun.

Di sisi lain, RUU Perpajakan juga akan menghapus PPh atas dividen dari dalam negeri dan luar negeri. Robert menjelaskan, insentif ini bertujuan memberikan ruang pendanaan dari dalam negeri dan luar negeri untuk menambah investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Saat ini, dividen yang diterima wajib pajak (WP) badan dalam negeri dengan kepemilikan lebih dari dua saham tidak dikenai PPh. Kebijakan ini akan tetap dilanjutkan dalam RUU Perpajakan.

Poin yang berubah adalah dividen dalam negeri yang diterima WP badan dalam negeri dengan kepemilikan kurang dari 25 persen. Apabila sebelumnya dikenai PPh tarif normal, kini mereka berpotensi untuk tidak mendapatkannya. Hanya saja, mereka harus menginvestasikannya di dalam negeri dalam waktu tertentu.

Selain itu, dividen dalam negeri yang diterima WP orang pribadi dalam negeri juga dapat terbebas dari PPh. Semula, mereka dikenakan PPh final 10 persen. Nantinya, mereka bisa terbebas apabila diinvestasikan di wilayah Indonesia dalam waktu tertentu.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan, tujuan dari kebijakan ini adalah menciptakan landasan perekonomian Indonesia yang lebih kuat melalui pertumbuhan investasi. "Esensinya, mencari sumber pendanaan untuk investasi yang berasal dari dividen," ucapnya.

Tidak hanya untuk dividen dalam negeri, penghapusan PPh juga akan diberlakukan untuk dividen luar negeri yang diterima oleh WP badan dan WP orang pribadi dalam negeri. Lagi-lagi, mereka harus menginvestasikannya di wilayah Indonesia dalam kurun waktu tertentu.

Suahasil menekankan, reformasi pajak tidak hanya berbicara jangka pendek. Pembenahan terhadap perpajakan juga harus berdampak pada pengelolaan perekonomian Indonesia yang lebih baik. Khususnya, agar pajak bisa mendorong perekonomian menjadi lebih kuat dan memiliki retaliasi lebih kuat, terutama terhadap dinamika ekonomi global saat ini.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani meyakini, insentif tambahan untuk mendukung dunia usaha melalui RUU Perpajakan ini akan mampu menguatkan perekonomian dalam negeri. Khususnya dengan insentif yang saat ini diberikan mencapai 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Askolani mengatakan, berbagai insentif ini akan membantu Indonesia dalam ‘memancing’ investasi langsung yang berkelanjutan. "Sehingga akan memperbaiki mutu ekonomi kita ke depannya," ucapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement