Oleh: Dr. Adian Husaini (Direktur Attaqwa College -- Pesantren at-Taqwa Depok)
Heboh soal disertasi yang mengabsahkan hubungan seksual di luar nikah menyeret kembali perbincangan tentang penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran. Penulis disertasi itu mencatat bahwa ia menggunakan metode hermeneutika. Apakah hermeneutika memang layak digunakan untuk menafsirkan al-Quran, menggantikan Ilmu Tafsir yang telah diterima secara ijma’ oleh umat Islam selama ratusan tahun?
Mari kita telaah secara singkat! Pada 24 Juni 2005, Harian Republika menurunkan sebuah artikel berjudul “Ketika Hermeneutika Menggantikan Tafsir Alquran.” Ditulis dalam artikel itu: “Dalam pemikiran Islam kontemporer, wacana hermeneutika sebagai solusi atas 'kebuntuan' tafsir dalam menghadapi tantangan zaman seolah menjadi sesuatu yang niscaya dan satu-satunya pilihan (the only alternative).
Terma ini bahkan nyaris sudah menjadi bagian dari wacana pemikiran Islam kontemporer itu sendiri. Para pemikir Islam kontemporer seperti Arkoun, Fazlur Rahman, Nasr Abu Zayd, Hassan Hanafi, Khaled Abu Fadhl, dan Amin Abdullah serta para aktivisi Islam Liberal senantiasa menyinggung pentingnya metode ini. Asumsi kuat dari para pendukung hermeneutika, bahwa tafsir konvensional sudah tidak relevan lagi untuk konteks sekarang, karenanya perlu diganti dengan hermeneutika.
” Secara harfiah, ‘hermeneutika’ artinya ‘tafsir’. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunani hermêneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Dalam mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia.
Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang dikemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel (the study of the general principle of biblical interpretation).
Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dalam sejarah interpretasi Bibel, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu (1) literal interpretation, (2) moral interpretation, (3) allegorical interpretation, (4) anagogical interpretation.
Dalam sebuah buku berjudul 'Hermeneutika Pembebasan', (Jakarta: Teraju, 2002), seorang guru besar di Yogya menulis: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.”
Dalam buku Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan, ditulis: “Alkitab adalah sabda Tuhan sepanjang segala abad. Oleh karena itu, mutlak dibutuhkan sebuah teori hermeneutik yang memungkinkan penggabungan metode-metode sastra dan kritik historis dalam suatu model penafsiran yang lebih luas… Karena itu, semua eksegese tentang teks diharapkan melengkapi dirinya dengan suatu “hermeneutika” seperti yang dipahami oleh makna modern ini. Alkitab sendiri serta sejarah penafsirannya menunjuk pada pentingnya suatu hermeneutika – yaitu suatu penafsiran yang berasal dari dan menyapa dunia kita sekarang.” (hlm. 100-101)
*****
Adalah Prof. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ilmuwan muslim pertama yang menjelaskan secara mendasar akan bahaya penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Itu jauh sebelum gelombang hermeneutika menerpa sebagian kalangan intelektual di Indonesia. Prof. al-Attas menjelaskan perbedaan antara hermeneutika dengan Ilmu Tafsir.
Pakar pemikiran Islam, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam bukunya, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), menulis satu judul sub bab, “Tafsir is not Hermeneutics”.
Ditulis oleh Wan Mohd Nor: “Al-Attas is perhaps the first contemporary Muslim scholar who has understood the unique nature of the Islamic science of tafsir and distinguishes it from the Western concept and practice of hermeneutics, whether on Biblical sources or other texts. In this respect, al-Attas differs substantively from Fazlur Rahman and other modernist or post modernist Muslims like Arkoun, Hasan Hanafi and A. Karim Shoroush.”
Dalam Konferensi International Kedua tentang Pendidikan Islam di Islamabad, Al-Attas menekankan bahwa ilmu pertama di kalangan Muslim, yakni Ilmu Tafsir, tetap sangat berharga dan bisa diaktualisasikan, sebab adanya karakteristik ilmiah dari bahasa Arab. Tafsir tidaklah identik dengan hermeneutika Yunani atau hermeneutika Kristen atau metode interpretasi kitab suci dari budaya atau agama apa pun. (Wan Mohd Nor, 1998: 343-344).
Jadi, tulis Wan Mohd Nor, tafsir "benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain." Ilmu Tafsir al-Qur'an adalah penting karena ini benar-benar merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Tabari (wafat 923 M) menganggapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang dipergunakan umat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran Kitab suci al-Qur'an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Prof. Wan Mohd. Nor juga mengkritik dosen pembimbingnya di Chicago University, yaitu Prof. Fazlur Rahman, yang mengaplikasikan hermeneutika untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Wan Mohd Nor menulis: “Konsekuansi dari pendekatan hermeneutika ke atas sistem epistemologi Islam termasuk segi perundangannya sangatlah besar dan saya fikir agak berbahaya. Yang paling utama saya kira ialah penolakannya terhadap penafsiran yang final dalam sesuatu masalah, bukan hanya masalah agama dan akhlak, malah juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat memisahkan hubungan aksiologi antar generasi, antar agama dan kelompok manusia.
Hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dengan masalah besar: 1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak dari awal karena tidak adanya bukti materiel teks-teks yang paling awal, 2) tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang boleh [dapat] diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma, dan 3) tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu.
Ketiga masalah ini tidak terjadi dalam sejarah Islam, khususnya dengan al-Qur'an. Jika kita mengadopsi satu kaedah ilmiah tanpa mempertimbangkan latar-belakang sejarahnya, maka kita akan mengalami kerugian besar. Sebab kita akan meninggalkan metode kita sendiri yang telah begitu sukses membantu kita memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul dan lama.” (Lihat, artikel Wan Mohd Nor Wan Daud di Majalah Islamia edisi 1, tahun 2004 dan wawancaranya di majalah yang sama pada edisi 2, tahun 2004).