Ahad 15 Sep 2019 15:16 WIB

Haka: Ulama Modernis Pembela Pakaian Barat

Haji Abdul Karim Amrullah: Ulama Modernis Pembela Pakaian Barat

Sekolah Sumatera Thawalib. (Istimewa). Meski keturunan pahlawan Paderi, perjuangan Haji Abdul Karim Amrullah .
Foto: wikipedia
Sekolah Sumatera Thawalib. (Istimewa). Meski keturunan pahlawan Paderi, perjuangan Haji Abdul Karim Amrullah .

Oleh: Fikrul Hanif Sufyan- pemerhati sejarah lokal Sumatera Barat

Lembar sejarah di awal abad ke-20 –terutama di Sumatera Barat, diramaikan dengan wacana modernisasi Islam, yang digawangi oleh murid-murid terbaik dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) adalah satu dari ratusan murid terbaiknya, yang mengusung konsep modernisasi Islam –yang jauh berbeda dengan gerakan Padri (1803-1837). Meskipun gerakan yang kerap dituding ‘wahabi’ ini berujung gagal dan dipadamkan pemerintah Kolonial Belanda, Padri  pada dasarnya telah meletakkan pondasi kuat puritanisme, sehingga memuluskan langkah Kaum Muda melanjutkan gerakan Islam modernis jilid dua.

Gambar terkait

Dan, uniknya murid-murid Syekh Ahmad Khatib itu, juga membangun identitas mereka masing-masing. Mereka menamakan dirinya Kaum Muda.  HAKA –ayah kandung dari ulama besar HAMKA menampilkan identitasnya yang unik –terutama dalam penampilan luarnya. Ia memelihara kumis yang tebal dan lentik, dan berbusana ala Barat dan dipadu dengan Mesir.

Dalam setiap penampilannya di foto, HAKA selalu memakai  jas, pantalon, dasi, baju kerah kaku, dan kerap memakai tarbus. ulama Kaum Tua dituduh tasyabbuh dan berperilaku kafir. Kaum Tua mencela pilihan busana Kaum Muda yang menyimpang dari tuntunan Islam dan menjurus pada kafir.

HAKA atau yang juga dikenal dengan julukan Inyik De eR itu tidak bergeming.  Lihat saja HAKA menandai dirinya dalam busana jas, celana panjang, dasi, tarbus ala Turki.  Dilihat dari setelan jas dan dasinya, HAKA bisa saja merujuk stylish Eropa, ataupun Turki. Besar dugaan busana ala Turki—diadopsi HAKA berdasar pengalaman empirisnya selama bermukim di Mekah, ataupun ketika membaca pers al-Munir dan al-Manar. Cara duduk HAKA dan posisi tangan memegang tongkat, seakan mencitrakan dirinya sebagai wakil Islam modernis dan membantah segala tuduhan kafir dari Kaum Tua.

Gambar terkait

Keterangan foto: Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA).

Hamka (1958: 66-67) dalam Ayahku beberapa kali mengisahkan gaya berbusana HAKA, yang dianggap aneh, sekaligus unik pada masa itu. Kisahnya bermula tahun 1911, dimana Kampung Kubu yang terletak di tepian Maninjau, ingin menyelengga-rakan salat Jumat. Sudah beberapa kali 40 orang pemuda meminta persetujuan kepada kepala nagari, namun ditolak ninik mamak. Datuk Makhudum—seorang penghulu kepala mencium gelagat, HAKA berada dibalik tuntutan anak nagari Kubu. Ia pun marah besar. HAKA harus berhadapan dengan otoritas adat, sekaligus anak Tuanku Laras.

Ketika pelaksanakan salat Jumat tiba, HAKA menunjukkan identitas modernisnya. Anak Tuanku Kisai itu, tidak lagi memakai jubah kebesaran ulama Naqsyabandiyah. Malah ia memakai jubah anggur hijau ala Syekh Muhammad Abduh, kain serban Halabi, dan berkaca mata hitam. Benar-benar identitas yang sama sekali baru di kampung halamannya. Seluruh murid pengajiannya mengiring di belakang laki-laki berkumis lebat itu. Dan pada Jumat berikutnya, HAKA tetap dengan stylish yang sama—berjubah, bertongkat, dan berkaca mata hitam.

Sanggahan HAKA terhadap fatwa haram memakai pakaian Barat, diungkap dalam Qati’ Riqb al-Mulhidin fi ‘Aqaid al-Mufsidin. HAKA dalam pemaparannya menegaskan, bahwa Islam tidak pernah memberatkan umatnya berbusana (Amrullah, 1914: 103). Bahkan, bila seorang laki-laki ketika umrah dan berhaji seharusnya berpakaian ihram, sambung HAKA tapi malah berpakaian yang lain—maka dia tidak keluar dari Islam atau menyalahi imannya. Ia hanya tidak mengikuti salah satu kewajiban dari rukun haji yang telah ditentukan, sehingga ia harus membayar fidiah.

HAKA juga menyayangkan fatwa gegabah Kaum Tua, bahwa orang yang berpakaian ala Eropa dan Turki langsung dituduh kafir dan telah merusak imannya. Dan juga tidak masuk akal, sambung HAKA, apabila persoalan pakaian itu dianggap melanggar adat istiadat, karena tidak satu pun dalam aturan adat Minang yang melarang memakai pakaian di luar adat dan tidak disebutkan sanksi apa yang harus diterima si pemakai busana. Tentunya, pena tajam HAKA ini “menampar” Kaum Tua yang serampangan mengkafirkan, ataupun para penghulu yang menuduh tidak memakai kain sesamping, sama saja melanggar adat Minang-kabau.  

Dalam Qati’ Riqb al-Mulhidin fi ‘Aqaid al-Mufsidin, Haji Abdul Karim Amrullah menegaskan, tuduhan-tuduhan jahat (Kaum Tua dan Syekh Jusuf Nabhani) yang dialamatkan kepada ratusan juta orang Turki, Arab, Mesir, dan Suriah merupakan bentuk kebencian dan tidak beralasan. Ia pun merujuk pada riwayat Bukhari, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memakai jubah dari bangsa Roma.

HAKA  kemudian menyanggah, apa yang menjadi dasar dari Kaum Tua untuk mengkafirkan muslim yang memakai pakaian ala Barat. Lebih lanjut ia menulis:

Jangan-jangan mereka itu lebih dulu jatuh pada larangan agama dengan mengada-adakan atas agama akan barang yang tiada kurang apa-apa. Sekalipun demikian itu dibenci oleh orang-orang yang mempunyai muru’ah (tertib, sopan), tiadalah harus dengan sebab demikian itu mengada-adakan barang yang tiada dari agama.

Fatwa HAKA membela cepiau  dan pantalon dalam al-Munir dan Qati’ Riqb al-Mulhidin fi ‘Aqaid al-Mufsidin, rupanya tidak meredakan ketegangan. Bukannya respon negatif yang diterimanya dari kalangan masyarakat, malah jas, pantalon, dasi, cepiau, dan topi Panama segera mewabah di Sumatera Barat (Hamka, 1958: 85-86). Busana modern ala Eropa oleh sebagian masyarakat, dianggap lebih maju, bernilai estetika, teknologi, dan menunjukkan identitas sosial. Dalam perspektif HAKA, busana jenis ini boleh dipakai ketika bekerja, berceramah, dan acara-acara resmi lainnya.

   

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement