Selasa 17 Sep 2019 12:40 WIB

Kenaikan Harga Minyak Berpotensi Perdalam Defisit

Pemerintah harus mempertajam insentif fiskal dan nonfiskal KKKS.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Kilang Minyak
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kilang Minyak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, serangan terhadap dua fasilitas minyak di Arab Saudi akan berimbas pada ekonomi Indonesia. Baik itu terhadap defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) maupun daya saing produk dalam negeri.

Bhima mengatakan, kejadian di Arab Saudi menyebabkan penurunan produksi minyak di Arab Saudi sehingga berdampak pada kenaikan harganya sampai 15 persen pada akhir perdagangan Senin (16/9) waktu setempat. "Kenaikan ini memiliki efek ke banyak sektor di Indonesia," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/9).

Baca Juga

Salah satunya, Bhima menyebutkan, defisit migas diperkirakan kembali melebar pada tahun ini seiring kenaikan harga minyak mentah. Sedangkan, produksi minyak dalam negeri terus menurun. Konsekuensinya, CAD dapat tembus tiga persen atau batas atas yang ditargetkan Bank Indonesia (BI) pada pertengahan tahun ini.

Di sisi lain, Bhima menambahkan, harga minyak di atas asumsi makro yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 memicu pelebaran belanja subsidi BBM. Apabila subsidi melebar tanpa disertai dengan naiknya penerimana pajak, maka defisit APBN pasti melebar.

"Ujungnya, opsi penambahan utang di akhir tahun tidak terhindarkan," katanya.

Dampak peristiwa di Arab Saudi juga tidak bisa dilepaskan dari sektor riil. Bhima mengatakan, kenaikan harga minyak berisiko meningkatkan ongkos produksi dan logistik. Khususnya dari komponen biaya distribusi yang tentu membutuhkan BBM.

Dampak tersebut menciptakan kondisi serba susah bagi produsen. Apabila mereka menaikkan harga jual di tengah daya beli masyarakat yang sedang menurun saat ini, tingkat permintaan terhadap hasil produksi mereka akan menurun. Di sisi lain, jika mereka mempertahankan harga, margin yang didapatkan mengecil.

"Jadi, ini jelas merugikan pengusaha lokal dan menurunkan daya saing produknya," ujar Bhima.

Berbagai upaya antisipasi harus segera dilakukan pemerintah. Tapi, Bhima mengakui, tidak banyak kebijakan yang dapat dilakukan dalam jangka pendek. Setidaknya ada dua hal yang bisa dialkukan, yaitu meningkatkan lifting dengan mempercepat akuisisi blok-blok potensial di dalam maupun luar negeri. Berikutnya, optimalisasi progran B20 untuk menekan impor.

Untuk jangka menengah, Bhima menuturkan, pemerintah harus mempertajam insentif fiskal dan non fiskal Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Tujuannya, meningkatkan eksplorasi dan produksi minyak.

Selain itu, skema gross split (perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara Pemerintah dan Kontraktor Migas di perhitungkan di muka) harus dievaluasi. Sebab, Bhima menilai, skema ini kurang menarik bagi investor.

"Terakhir, dorong Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk optimalkan kemampuan lifting sumur-sumur lama," tuturnya.

Dilansir di Al Jazeera, Senin, minyak mentah Brent yang menjadi patokan internasional ditutup pada 69,02 dolar AS per barel. Nilai tersebut melonjak 8,80 dolar AS atau 14,6 persen. Kenaikan ini menjadi kenaikan persentase satu hari terbesar sejak setidaknya tahun 1988.

Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi patkan AS berakhir pada 62,90 dollar AS per barel. Nilai tersebut melompat 8,05 dolar AS atau 14,7 persen yang mencatat kenaikan persentase satu hari terbesar sejak Desember 2008.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement