REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menanggapi serius kabar mengenai rencana penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Hal itu dinilai dapat memicu lonjakan harga minyak dunia akibat gangguan rantai pasok global.
Penutupan jalur strategis tersebut sebelumnya dikabarkan telah disetujui oleh Parlemen Iran. Para analis dan asosiasi migas nasional pun memperkirakan, jika eskalasi konflik Iran-Israel terus berlanjut hingga penutupan Selat Hormuz terealisasi, maka harga minyak mentah dunia akan melonjak tajam. Sekitar 20–30 persen minyak dunia diketahui diangkut melalui jalur ini, satu-satunya pintu keluar-masuk kapal tanker dari Teluk Persia.
“Dalam konteks minyak, ketika Selat Hormuz ditutup, ini berdampak pada kenaikan harga minyak dunia,” ujar Bahlil di Jakarta, dikutip Selasa (24/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa ketegangan ini merupakan bagian dari dinamika geopolitik global yang tak menentu. Sebelumnya, dunia telah menyaksikan konflik Rusia-Ukraina, bentrokan berkepanjangan antara Israel dan Hamas, serta ketegangan antara India dan Pakistan.
Terbaru, konflik antara Iran dan Israel semakin memanas, apalagi setelah Amerika Serikat—sebagai sekutu Israel—meluncurkan serangan ke fasilitas nuklir Iran. Kondisi tersebut memperkuat ancaman penutupan Selat Hormuz.
“Ini akumulasi. Nah, dalam kondisi geopolitik yang tidak menentu seperti ini, maka kita harus betul-betul punya strategi yang baik,” kata Bahlil.
Menurutnya, jika harga minyak mentah dunia terus meningkat, maka salah satu langkah strategis yang perlu digenjot adalah peningkatan produksi dalam negeri, khususnya lifting minyak. Upaya ini kini tengah diimplementasikan agar solusi konkret di lapangan bisa segera terealisasi.
“Dan menurut saya, selama kondisi ketegangan di Timur Tengah ini nggak berakhir, potensi naiknya (harga minyak) itu tinggi sekali. Tapi kita doakanlah semoga konflik ini berakhir. Kita sayangkan sebenarnya,” ujarnya.
Meski demikian, Bahlil memastikan bahwa situasi saat ini masih terkendali. Harga minyak mentah global belum melampaui asumsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yakni sebesar 82 dolar AS per barel.