REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pemerintah Arab Saudi telah menyatakan mengetahui tawaran kelompok pemberontak Houthi Yaman untuk menghentikan segala tindakan bermusuhan. Namun, Riyadh enggan terburu-buru menerima tawaran tersebut.
"Kami menilai pihak lain berdasarkan perbuatan, tindakan, dan bukan dengan kata-kata mereka. Jadi, kami akan melihat apakah mereka sebenarnya melakukan ini atau tidak," kata Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir pada Sabtu (21/9), dikutip laman Aljazirah.
Terkait serangan terhadap fasilitas minyak Saudi Aramco pada 14 September lalu, al-Jubeir enggan menanggapi klaim Houthi. Dia meyakini serangan itu dilakukan Iran. "Itu dilakukan dengan senjata Iran. Oleh karena itu, kami meminta pertanggungjawaban Iran atas serangan ini," ujar al-Jubeir.
Kendati meyakini demikian, Pemerintah Saudi masih akan menunggu hasil investigasi menyeluruh atas serangan terhadap Aramco. "Kerajaan akan mengambil tindakan yang sesuai berdasarkan hasil penyelidikan untuk memastikan keamanan serta stabilitas. Kami yakin bahwa peluncuran itu tidak datang dari Yaman, itu datang dari utara. Investigasi akan membuktikan hal itu," ucapnya.
Kementerian Pertahanan Arab Saudi sebelumnya mengumumkan bahwa puing-puing pesawat nirawak atau drone membuktikan keterlibatan Iran dalam serangan pada dua fasilitas minyak Pemerintah Saudi, Aramco. Saudi menyebut, 18 drone dan tujuh rudal jelajah ditembakkan dari arah yang bukan Yaman sebagai sumbernya, seperti yang diakui Houthi.
Bukti-bukti tersebut dipresentasikan dalam konferensi pers Kementerian Pertahanan Saudi pada Rabu (18/9) waktu setempat. Bukti menunjukkan adanya puing-puing drone (UAV). Juru bicara Kementerian Pertahanan, Kolonel Turki al-Malki, mengatakan, bukti menunjukkan serangan itu diluncurkan dari utara dan tidak diragukan lagi disponsori oleh Iran.
Namun, Kolonel Malki mengatakan, Saudi masih bekerja untuk mengetahui dengan tepat titik peluncuran. Di antara puing-puing adalah sayap delta dari UAV Iran (kendaraan udara nirawak). "Data pulih dari komputer (di UAV) menunjukkan itu adalah Iran," kata Malki dilansir BBC, Kamis (19/9).
Pada Jumat (20/9) malam, kelompok Houthi mengusulkan penghentian semua tindakan bermusuhan dengan seluruh pihak, termasuk Saudi. "Kami menyatakan berhenti menargetkan wilayah Arab Saudi dengan drone (pesawat nirawak) militer, rudal balistik, dan semua bentuk senjata lainnya. Kami menunggu langkah balasan dari mereka," ujar kepala dewan politik tertinggi Houthi, Mahdi al-Mashat.
Jika usulan tersebut tak disambut positif, Houthi menyatakan berhak mengambil tindakan. "Kami berhak merespons jika mereka gagal membalas secara positif inisiatif ini," kata al-Mashat.
Dia pun meminta agar semua pihak yang terlibat dalam konflik Yaman terlibat dalam negosiasi serius. Houthi mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap dua fasilitas minyak Saudi Aramco pada 14 September lalu.
Sebuah lubang terlihat di sebuah bagian separator di lantai saat pekerja memperbaiki kerusakan akibat serangan drone dan rudal di fasilitas pengolahan minyak Aramco di Abqaiq, Arab Saudi, Jumat (20/9). Saudi memfasilitasi jurnalis mengunjungi fasilitas tersebut.
Serangan tersebut dilakukan dengan menggunakan 10 pesawat nirawak. Juru bicara militer Houthi, Brigadir Yahya Saree, mengatakan, kelompoknya memang sengaja menerbangkan beberapa drone untuk mengecoh sistem pertahanan dan keamanan Saudi. Dengan begitu, drone utama dapat mencapai sasaran.
Saree pun sempat menyatakan akan melancarkan serangan ke Uni Emirat Arab (UEA). "Kami mengumumkan bahwa kami memiliki puluhan target di UEA, di antaranya Abu Dhabi dan Dubai, dan bahwa mereka dapat menjadi sasaran kapan saja," ujarnya pada Rabu lalu.
Saudi dan UEA tergabung dalam koalisi militer yang memerangi Houthi di Yaman. Mereka menganggap Houthi sebagai ancaman keamanan karena memperoleh dukungan dari Iran. Sejak kedua negara itu melakukan intervensi militer, krisis kemanusiaan di Yaman makin memburuk.
Saudi dan UEA diketahui sempat beberapa kali memblokade Hodeidah, yakni pelabuhan utama negara tersebut. Aksi blokade menyebabkan pasokan atau distribusi bantuan kemanusiaan terhambat. Tak sedikit dari warga Yaman yang akhirnya harus menghadapi kelaparan dan tak memiliki akses ke layanan kesehatan.
PBB telah menyebut krisis Yaman sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Lebih dari 700 ribu orang telah tewas sejak 2016. Perang yang telah berlangsung sejak 2014 itu belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Utusan PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, menyambut tawaran kelompok pemberontak Houthi untuk menghentikan semua serangan terhadap Arab Saudi. Dia menilai hal itu dapat mengakhri konflik Yaman yang telah berlangsung selama sekitar lima tahun.
Dia berpendapat tawaran Houthi dapat mengirim pesan kuat dari keinginan untuk mengakhiri perang. "Penting mengambil keuntungan dari kesempatan ini dan bergerak maju dengan semua langkah yang diperlukan untuk mengurangi kekerasan, eskalasi militer, dan retorika yang tidak membantu," kata Griffiths pada Sabtu (21/9), dikutip laman Aljazirah. n kamran dikarma, ed: fitriyan zamzami