REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir tak menghendaki jika aksi penyerangan terhadap fasilitas minyak Saudi Aramco harus berujung pada peperangan. Kendati demikian, pihak yang berada di belakang aksi tersebut harus bertanggung jawab.
"Tidak ada yang menginginkan perang dan opsi ini harus menjadi yang terakhir," kata al-Jubeir, dilaporkan laman Al Arabiya, Senin (23/9).
Dia mengungkapkan, saat ini penyelidikan terkait serangan Aramco masih dilakukan. "Tim penyelidik mengidentifikasi dari mana (serangan) diluncurkan dan konsultasi serta koordinasi tengah berlangsung antara Kerajaan (Saudi) dan sekutunya, seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris, serta sekutu di kawasan, sehubungan dengan opsi yang tersedia dan langkah-langkah yang bisa diambil," ujarnya.
Tim penyelidiki terdiri dari para ahli dari Saudi, PBB, dan beberapa negara lain. Menurut dia, terdapat banyak opsi untuk negaranya. "Ada penilaian terhadap opsi-opsi ini," ucap al-Jubeir.
Dia tak mengesampingkan kemungkinan Iran sebagai dalang di balik serangan terhadap fasilitas Aramco. Jika hal itu terbukti, Teheran harus bertanggung jawab. "Masyarakat internasional harus memikul tanggung jawabnya dan membuat Iran bertanggung jawab untuk hal tersebut," ujar al-Jubeir.
Menurutnya, Iran memang telah melancarkan perang terhadap Saudi sejak revolusi Ali Khameini. "Perilaku agresif Iran terhadap kita melanggar norma serta hukum internasional," kata dia.
Pada 14 September lalu, dua fasilitas minyak milik Saudi Aramco di Abqaiq dan Khurais diserang 10 pesawat nirawak (drone). Serangan itu menyebabkan sebagian area pabrik terbakar.
Serangan itu dilaporkan memangkas lima persen produksi minyak dunia. Aramco diketahui merupakan perusahaan minyak milik Pemerintah Saudi yang mengalirkan pasokan terbesar ke pasar minyak dunia.
Kelompok pemberontak Houthi Yaman mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun klaim itu diragukan sejumlah negara, termasuk Inggris dan AS. Mereka meyakini Iran yang melancarkan serangan itu.