REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Muhammad Lutfi mengatakan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump merupakan sosok yang tidak terduga. Sikap itu pun mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat.
Lutfi melihat, Trump menerapkan politik post-truth yang menempatkan kebenaran sesuai dengan interpretasi masing-masing dan tidak ada yang bersifat kolektif. Dia sosok yang menghancurkan banyak perjanjian yang sudah dibuat, sehingga mengubah langkah besar untuk Amerika Serikat dan negara lainnya.
Meski menghadapi sikap yang sulit ditebak, Trump nyatanya tidak cukup berani untuk melakukan peperangan. Menurut Lutfi, hal itu didorong kondisi ekonomi yang bisa berdampak besar pada negara tersebut.
"Kita akan hadapi sikap Amerika Serikat yang sulit ditebak. Tapi, beberapa analisis melihat intelijen dan militer Amerika Serikat tidak akan mampu berperang secara terbuka," ujar Lutfi dalam diskusi publik yang diselenggarakan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) dengan tema “Timur Tengah Membara dan Masa Depan Perdamaian Dunia", Jumat (27/9).
Jika AS mengadakan perang terbuka pada negara yang bermasalah dengan mereka, maka akan banyak terjadi kerugian yang bisa membebani negara. Untuk itu, Trump dinilai memilih untuk mengatur negara koalisinya yang maju.
Dia mencontohkan dalam kasus fasilitas minyak Aramco yang ditembak oleh pesawat nirawak. Iran menjadi tertuduh yang melakukan tembakan tersebut. Meski tempat itu milik Arab Saudi, pasokan minyak yang dihasilkan disalurkan ke beberapa negara Barat, termasuk AS.
Amerika Serikat pun mendukung berada di sisi Saudi dalam menyerang Iran. Trump tidak secara langsung memasang badan untuk melakukan serangan, hanya memberikan bantuan terhadap Saudi.
"Dia akan gunakan koalisi dan akan maju, seperti di Libya, Amerika serang pertama kemudian NATO masuk dan hingga saat ini tidak selesai," kata Lutfi.