REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China ingin bergabung dalam Perjanjian Perdagangan Senjata atau Arms Trade Treaty (ATT). China menyatakan akan sesegera mungkin menandatangani perjanjian tersebut.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan telah memulai prosedur hukum domestik untuk bergabung dengan ATT. Menurut keterangan yang dirilis Kementerian Luar Negeri Cina, Jumat (27/9), mereka memang mementingkan isu penjualan senjata ilegal dan penyalahgunaannya.
Oleh sebab itu, China mendukung maksud dan tujuan ATT. “Sebagai anggota keluarga internasional yang bertanggung jawab, China bersedia terus memperkuat pertukaran serta kerja sama dengan semua pihak dan bekerja sama membangun tatanan perdagangan senjata yang terstandarisasi serta masuk akal dan memberikan kontribusi positif untuk menjaga perdamaian dan stabilitas internasional serta regional,” kata Kementerian Luar Negeri China.
Sejauh ini, terdapat 104 negara yang telah berpartisipasi dalam ATT. Perjanjian itu disetujui Majelis Umum PBB pada 2013.
Menurut Stockholm Internasional Peace Research Institute, China adalah pengekspor senjata global terbesar kelima antara 2014 dan 2018. Kendati demikian, China memang tidak pernah merilis data tentang berapa banyak senjata yang diekspornya.
Selama 2014-2018, China mengirim senjata utama ke 53 negara. Pakistan dan Bangladesh adalah dua negara yang paling banyak mengimpor senjata dari China.
Menurut beberapa pakar, senjata buatan China dapat dibandingkan dengan Rusia atau Barat. Namun informasi akurat tentang performa senjata hasil produksi China masih cukup langka.
China diketahui menghadapi larangan impor peralatan militer oleh Barat. Hal itu merupakan reaksi kemarahan Barat atas cara China menangani aksi protes pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989. Hal itu menuntut China dapat mengembangkan dan memproduksi peralatan militernya sendiri.