Kamis 03 Oct 2019 16:39 WIB

Kadin Desak Pemerintah Bentuk Kawasan Klaster Cabai

Sistem kawasan cabai teratur dapat menjaga ketersediaan pasokan secara berkelanjutan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Kementan berupaya menstabilkan harga cabai dengan manajemen pola tanam.
Foto: Kementan
Kementan berupaya menstabilkan harga cabai dengan manajemen pola tanam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendesak pemerintah untuk segera membentuk kawasan klaster komoditas hortikultura khususnya cabai dengan berbasis potensi daerah. Sistem klaster dianggap menjadi solusi konkret untuk mengatasi masalah fluktuasi harga dan pasokan cabai di Indonesia.

Ketua Komite Tetap Hortikultura Kadin Indonesia, Karen Tambayong, mengatakan, pembentukan klaster setidaknya bisa menjadi kebijakan terdekat yang paling memungkinkan bagi pemerintah. Sistem kawasan cabai yang teratur dapat menjaga ketersediaan pasokan secara berkelanjutan dan pemasaran yang tepat.

Baca Juga

"Cabai di Jawa dan Sumatra saja beda karena masa panennya tidak sama. Harusnya bisa ditata. Tapi, siapa yang bisa menata itu?" kata Karen saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (3/10).

Ia mengatakan, swasta bisa menjadi off taker dengan membuat pilot project pelaksanaan klaster. Sebab, industri swasta yang membutuhkan cabai sebagai bahan baku produknya sudah sejak lama melakukan kemitraan langsung dengan petani. Pola-pola semacam itu perlu diperluas agar sektor pertanian hortikultura khususnya cabai dapat lebih tertata dan menyejahterakan petani.

Tanpa ada kawasan yang teratur, penjualan cabai oleh petani langsung kerap kali membuat petani itu sendiri tidak bisa meningkatkan penjualan. Sebab, ia terikat dengan pengepul atau tengkulak yang secara sepihak menentukan harga. Karena itu, persoalan pendanaan bagi petani turut menjadi pekerjaan bersama antara swasta, pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah.

Ke depan, petani mesti diarahkan untuk tidak hanya menjual cabai mentah. Tapi cabai olahan dalam bentuk bubuk ataupun pasta yang digunakan industri makanan. Soal itu, perlu pendanaan yang besar dan bisa dimulai dari adanya kawasan klaster cabai.

"Itu bisa dilakukan kalau kita punya klaster. Manajemen akan lebih mudah. Semua bisa dilakukan dengan teknologi. Kita semangat lagi untuk hortikultura setelah lima tahun ini fokus pajale (padi, jagung, kedelai)," kata Karen.

Karen menjelaskan, ekonomi regional yang dimiliki Indonesia saat ini memberikan keunggulan komparatif bagi sektor hortikultura. Karenanya, pelaku usaha swasta nasional lebih mengedepankan riset komprehensif untuk mengembangan bisnis hortikultura. Kebutuhan pasar perlu dicermati agar komoditas yang ditanam bisa terbeli secara maksimal.

Masing-masing daerah di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing untuk komoditas hortikultura. Dalam tiga bulan ke depan, Komite Tetap Hortikultura Kadin bakal mengumpulkan informasi mengenai potensi produk hortikultura di masing-masing wilayah. Koordinasi antara Kadin dengan pemerintah pun mesti lebih baik agar pengembangan klaster bisa memberikan hasil positif.

Sementara itu, Direktur Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) Soekam Purwadi, menyampaikan, kebutuhan cabai nasional per bulan sebesar 70 ribu ton per bulan. Ia mengusulkan agar 60 persen atau sekitar 42 ribu ton dipenuhi dari lima provinsi yang saat ini telah menjadi sentra pertanaman cabai. Kelima provinsi itu yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggaran Barat, dan Lampung.

Di lima provinsi itu, pemerintah bisa membuat program khusus untuk memproduksi cabai secara berkelanjutan dengan membentuk Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesma). Selain itu, mendirikan kebun penyangga cabai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pelengkap pemenuhan cabai ketika fluktuasi harga cukup ekstrem.

Sementara, 40 persen kebutuhan cabai atau sekitar 28 ribu ton per bulan dapat dipenuhi dari daerah-daerah yang bukan menjadi lumbung cabai. "Biarkan pasokan cabai itu beredar di daerah sebagai wujud kemandirian pangan," kata Soekam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement