REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyatakan mendukung penuh langkah pemerintah untuk menetapkan harga acuan komoditas garam. Harga acuan dibutuhkan demi keseimbangan antara kepentingan petambak garam dan pengusaha dalam negeri.
Sekretaris Jenderal AIPGI, Cucu Sutara, mengatakan, perlu ada dasar yang kuat dan komprehensif sebelum harga acuan garam ditetapkan. Terutama, menyangkut kandungan atau kualitas garam itu sendiri maupun ketersediaan pasokan secara berkesinambungan.
Menurut Cucu, harga acuan yang cukup ideal bagi garam lokal sebesar Rp 1.000 per kilogram (kg) untuk kualitas I yang memiliki kadar Natrium Klorida (NaCl) minimal 97 persen.Harga tersebut juga mempertimbangkan harga garam impor yang saat ini berkisar antara Rp 700-800 per kg sebelum diolah untuk digunakan industri pengguna garam.
"Rate kami di angka Rp 1.000 cukup ideal karena akan ada biaya untuk pengolahan lagi. Tapi soal harga memang kita harus rapat dan pasti ada kompromi yang disepakati oleh seluruh unsur," kata Cucu kepada Republika.co.id, Ahad (6/10).
Garam lokal yang diserap industri, kata Cucu, dapat diolah untuk kebutuhan bahan baku industri maupun diolah menjadi garam konsumsi masyarakat. Hal itu memungkinkan karena dapat menggunakan garam dengan kandungan NaCl minimal 94 persen.
Khusus untuk industri, Cucu menerangkan sektor yang sudah dapat menggunakan garam lokal diantaranya water treatment, penyamakan kulit, pakan ternak, dan pengasinan ikan. Tahun 2019 ini, mengacu pada data Kementerian Perindustrian kebutuhakn garam lokal dari empat sektor tersebut sekitar 614 ribu ton. Ada juga sektor lainnya yang tidak dirinci dengan kebutuhan sekitar 16,7 ribu ton.
Adapun industri makanan dan minuman, farmasi dan kosmetik, hingga chlor alkali planti (CAP) belum dapat menggunakan garam lokal jika NaCl masih di bawah 97 persen. Ia mengatakan, pelaku usaha tentu akan berpihak pada garam lokal jika telah memenuhi standar tersebut.
"Saya sudah sering katakan, impor garam industri adalah sebuah keterpaksaan karena sampai hari ini belum ada pasokan di lokal yang sesuai kualifikasi," ujarnya.
Berdasarkan informasi terakhir yang diterima Republika.co.id, proses penyusunan HPP masih pada tahap revisi Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Revisi itu akan memasukkan garam sebagai salah satu barang penting sehingga dapat diatur harga acuannya.
Cucu pun mengusulkan agar harga acuan yang ditetapkan hanya untuk kualitas I sehingga cukup satu harga. Dengan begitu, petambak tradisional akan terdorong untuk menghasilkan garam dengan kualitas terbaik.
Para pengusaha, kata dia, akan patuh pada semua keputusan pemerintah mengenai tata niaga garam. Karena itu kebijakan akhir berupa penentuan harga garam nantinya dapat menguntungkan semua pihak.
"Kita akan hitung semua biaya produksi, yang penting ini untuk keseimbangan sehingga bisa memberikan rasa nyaman baik petambak maupun anggota kami," kata dia.