REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah menargetkan dalam tiga tahun lagi Nusa Tenggara Timur (NTT) mampu memproduksi dan berswasembada garam industri. Kehadiran sentra garam NTT nantinya itu diklaim tak akan menghambat produktivitas dan daya saing petambak garam existing.
Pemerintah tengah mendorong NTT menjadi wilayah sentra produksi garam. Hal itu agar dalam tiga tahun ke depan volume impor garam industri dapat ditekan mengingat optimalisasi infrastruktur produksi di NTT diprediksi mampu menyuplai kebutuhan industri.
“(Nasib petambak existing) enggak ada masalah. Karena kenyataannya garam rakyat pasti lebih mahal dari yang impor, kenapa? Karena yang lokal padat karya yang impor padat modal,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brhamantya Setyamurti Poerwadi saat dihubungi Republika, Ahad (13/10).
Dia menjelaskan, proyek sentra garam NTT segementasi produksinya bukan mengarah ke garam petambak rakyat. Artinya, lahan tersebut pengolahannya berada di pihak industri. Salah satu pihak swasta yang mengelola, kata dia, adalah PT Susanti Megah.
Pihaknya mengatakan bahwa KKP tak mengurusi lebih jauh proyek garam NTT karena hal itu merupakan ranah industri dan pemerintah daerah (pemda) NTT. “NTT itu lahan awalnya 4.000 hektare dan milik swasta, lahan itu (sempat) mangkrak dan lalu dicabut hak pengelolanya. Lalu dikelola oleh semacam tender cepat gitu dan dikasih ke perusahaan-perusahaan yang punya industri antara,” paparnya.
Pemerintah mengklaim potensi luas lahan garam di NTT mencapai 21 ribu hektare. Jika diperinci, luasan yang akan digarap tersebut berada di Kupang seluas 7 hektare, dan yang sudah mulai panen berada di lahan seluas 10 hektare.
Dengan potensi tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan pada 2020 sebanyak 600 hektare lahan garam di NTT sudah dapat tersedia guna memenuhi kebutuhan garam nasional. Sebagai catatan, saat ini Indonesia masih mengimpor garam sekitar 2,8 juta ton per tahun.