REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – PT PLN (Persero) menggunakan berbagai macam jenis pembangkit untuk melistriki desa-desa di Papua dan Papua Barat yang belum teraliri listrik. Salah satu pembangkit itu adalah Piko Hidro.
Kepala Divisi Konstruksi Regional Maluku dan Papua PT PLN (Persero) Robert Aprianto Purba menjelaskan, Piko Hidro merupakan pembangkit listrik tenaga air berkapasitas sangat kecil, yakni 1-100 KWH. Cara kerjanya, air yang telah dibendung dialirkan ke dalam bak penampung yang berisi turbin, sehingga aliran air akan memutar turbin tersebut. Selanjutnya, turbin memutar generator yang pada akhirnya menghasilkan listrik.
Robert mengatakan, pembangkit listrik tenaga piko hidro (PLTPH) cocok digunakan di daerah terpencil. “ Piko Hidro hanya butuh ketinggian air 1-3 meter dan debit 30 liter per detik. Jadi cocok digunakan di daerah terpencil,” kata Robert dalam siaran pers, Selasa (15/10).
Robert mengatakan, kebutuhan menggunakan Piko Hidro untuk melistriki desa-desa di Papua merupakan hasil survei PLN melalui Ekspedisi Papua Terang (EPT). EPT turut melilbatkan kelompok mahasiswa pencinta alam (Mapala) dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Cendrawasih, LAPAN dan TNI AD.
Dari target survei 415 desa, tim EPT mampu memetakan sistem kelistrikan yang akan dibangun di 841 desa di Papua dan Papua Barat. Perinciannya, sebanyak 39 desa direncanakan menggunakan teknologi tabung listrik (Talis), 41 desa menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Piko Hidro (PLTPH),179 desa rencananya akan disambungkan ke sistem jaringan listrikPLN yang telah ada.
Kemudian, 286 desa akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Biomassa (PLTBm), serta selebihnya 297 desa akan diterangi dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Biomassa (PLTBm).
Dia menambahkan, data tersebut telah ditindaklanjuti dengan pemancangan program “1000 Renewable Energy for Papua.” Program inilah yang mengeksekusi hasil survei EPT. Desa pertama yang dilistriki adalah Kampung Kwaedamban, Distrik Bormeo, Pegunungan Bintang pada pertengahan Oktober 2018.
Meski berlokasi di pedalaman Pegunungan Bintang, namun kampung ini memiliki prasyarat yang tepat untuk dialiri listrik dengan pembangkit Piko Hidro. “Di antaranya, potensi aliran air bagus, kondisi keamanan kondusif, dan seluruh masyarakat mendukung serta membantu program pembangunannya,” kata dia.
Dia mengungkapkan, biaya investasi untuk membangun Piko Hidro sekitar Rp 30 juta per unit dengan biaya pemeliharaan yang minimum dan tidak memerlukan biaya bahan bakar. “Piko Hidro ini pun mudah dirakit dan dioperasikan serta bisa beroperasi selama 24 jam sesuai dengan debit air. Teknologi ini membuatnya cocok untuk diterapkan di daerah terpencil yang memiliki debit air yang sesuai,” kata Robert.
Ia mengatakan, berkat PLTPH berdaya 1 KWH yang memanfaatkan aliran air sungai Wapra itu, sebanyak 37 rumah di Kwaedamban bisa menikmati listrik.