REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjatuhkan sanksi atas Turki dan menuntut Turki melakukan gencatan senjata. Ia bahkan menyatakan siap menghancurkan perekonomian Turki jika mereka tak kunjung menghentikan serangan ke milisi Kurdi di Suriah.
"Saya siap sepenuhnya untuk segera menghancurkan perekonomian Turki jika pemimpin Turki melanjutkan langkah yang berbahaya dan menghancurkan ini," kata Trump, Selasa (15/10).
Dalam pengumuman sanksi, Trump menunda perundingan kesepakatan dagang senilai 100 miliar dolar AS dengan Turki. Trump juga kembali menaikkan tarif baja menjadi 50 persen. Menteri pertahanan, menteri energi, dan tiga orang petinggi Turki juga diganjar sanksi AS.
Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan bahwa sanksi ini akan makin berat jika Turki tak kunjung melakukan gencatan senjata, berunding, dan mengakhiri kekerasan.
Juru bicara Kantor Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Rupert Colville, menyatakan PBB meminta Turki menyelidiki eksekusi yang diduga dilakukan milisi pendukung Turki di Suriah, Ahrar al-Sharqiya. Eksekusi dilakukan terhadap dua orang Kurdi dan seorang politisi Kurdi pada 12 Oktober. Tindakan itu, kata Colville, dapat digolongkan pada kejahatan perang.
"Turki dapat dinyatakan bertanggung jawab sebagai negara karena pelanggaran yang dilakukan pendukung mereka selama Turki terbukti mengendalikan kelompok tersebut atau operasi yang memungkinkan pelanggaran terjadi," kata Colville.
PBB juga menyatakan mereka mendokumentasikan para korban sipil yang jatuh akibat serangan Turki di Suriah timur laut mulai 9 Oktober silam. Menurut Colville, penyidik kejahatan internasional akan menindaklanjuti semua insiden itu.
Sekutu Suriah, yaitu Rusia, menyatakan bahwa serangan Turki tidak bisa diterima. Hal ini diungkap utusan presiden Rusia untuk Suriah, Alexander Lavrentiev, ketika ditanya kesepakatan antara Rusia dan Turki terkait operasi militernya.
"Tidak ada. Kami selalu mendesak Turki untuk menahan diri dan kami selalu menganggap operasi militer di wilayah Suriah tidak bisa diterima," katanya, Selasa.
Rusia hadir di Suriah atas permintaan Presiden Suriah Bashar Assad. Dalam konflik yang telah berlangsung delapan tahun itu, Rusia berseberangan dengan koalisi pimpinan Amerika Serikat.
Cina juga mendesak Turki menghentikan operasi militernya di Suriah. Beijing menyerukan Ankara untuk menghormati kedaulatan dan integritas wilayah Suriah.
Dalam agenda pengarahan media pada Selasa, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, mendesak Turki kembali ke jalur yang benar. Suruan ini merupakan seruan terbaru dari Cina terkait operasi militer Turki di Suriah.
Kendaraan militer Turki yang membawa tank sedang menuju Suriah Utara untuk operasi militer di daerah Kurdi, dekat perbatasan Suriah, dekat distrik Akcakale di Sanliurfa, Turki (14/15/2019).
Pekan lalu, tepatnya sehari setelah Turki melancarkan operasi militer, Geng telah memberikan pernyataan tanggapan. Dia menyerukan Turki menahan diri dan menghormati kedaulatan Suriah.
“Kami telah memperlihatkan bahwa semua pihak umunya khawatir tentang kemungkinan konsekuensi dari operasi militer Turki dan mendesak Turki menahan diri,” ujar Geng.
Selain Cina, telah cukup banyak negara, termasuk negara-negara Arab, yang mendesak Turki menghentikan operasi militernya di Suriah. Pada Ahad lalu, Kanselir Jerman Angela Merkel melakukan pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk membahas perkembangan situasi di Suriah.
“Kami memiliki keinginan bersama bahwa serangan ini berakhir,” kata Macron selepas bertemu Merkel seraya menambahkan bahwa operasi militer Turki dapat menimbulkan bencana kemanusiaan serta mendorong milisi ISIS bangkit kembali.
Sejak pekan lalu Turki membombardir kota-kota di timur laut Suriah. Dalam operasi yang diberi nama Operation Peace Spring itu, Ankara hendak menumpas pasukan Kurdi yang menguasai wilayah perbatasan antara Suriah dan Turki.
Turki mengklaim salah satu anggota SDF, yaitu People's Protection Units (YPG), sebagai perpanjangan dari Kurdistan Workers' Party (PKK). PKK merupakan kelompok bersenjata Kurdi yang telah melancarkan pemberontakan di Turki tenggara selama lebih dari tiga dekade. Ankara telah melabeli YPG dan PKK sebagai kelompok teroris.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengklaim serangan ofensif dilakukan untuk menggerus kekuatan Kurdi di perbatasan Turki dan Suriah serta menciptakan zona aman sepanjang 30 kilometer ke dalam Suriah. Dengan zona aman tersebut, Turki menyatakan jutaan pengungsi Suriah akan dapat kembali pulang ke negara mereka. n kamran dikarma/reuters/ap, ed: yeyen rostiyani