Migran berpendidikan dan berketerampilan tinggi dari luar Australia termasuk dari Indonesia kadang kali mengalami kesulitan mendapat kerja di bidang keahlian mereka di Australia karena harus melewati beberapa ujian tambahan.
Padahal mereka sudah melakukan hal tersebut di negeri asal namun kualifikasi tersebut tidak diakui di Australia.
Dan karenanya menurut kesimpulan penelitian di James Cook University di Australia sering kali kemudian kemampuan para migran baru tersebut terbuang sia-sia karena mereka di bidang yang sama sekali berbeda atau di bidang yang lebih rendah dibandingkan kualifikasi asal mereka.
Hal ini dialami oleh Inggita Shintowati, yang satu tahun pengalamannya sebagai seorang dokter umum di Indonesia tidak mengizinkannya langsung bekerja di ranah kedokteran Australia.
Perempuan yang pindah ke Australia setelah menikah dengan suaminya yang adalah Warga Tetap di negara tersebut ini mengatakan pengalamannya tidak memenuhi syarat ikut ujian menjadi dokter umum.
"Kalau mau jadi dokter umum untuk praktek [di Australia] tergantung pengalaman sebelumnya. Kalau pernah praktek di negara asal tiga tahun bisa langsung ujian untuk jadi dokter umum," kata dia.
"Tapi karena [pengalaman] saya satu tahun, tidak bisa. Jadi harus ikut pelatihan empat tahun."
Tiga tahun setelah kelahiran anak pertamanya, Inggita yang adalah S1 Kedokteran Universitas Airlangga lulusan tahun 2009 mulai mengikuti ujian tahap satu izin praktek dokter di Australia.
Tahap tersebut merupakan langkah pertama dari dua tahap seleksi untuk mendapatkan kualifikasi dokter medis, syarat untuk melakukan tes selanjutnya menuju profesi dokter umum.
"Saya mulai coba ambil ujian persamaan untuk praktek di sini tapi sambil si kecil di penitipan anak saya sempat kerja paruh waktu jadi koordinator studi penelitian," kata perempuan yang suaminya bekerja di bidang pemasaran itu.
"Dua hari kerja, tiga hari sama si kecil di rumah, dan belajar di akhir pekan, ternyata itu sulit," kata Inggrita yang akhirnya harus berhenti bekerja untuk dapat lulus ujian tahap pertama itu di percobaan ketiga.
Inggrita mengeluarkan biaya sebesar AUD$ 8,450 atau Rp 8 juta untuk ujian yang ia lakukan di tahun 2014, 2015 dan 2016. Ia berhenti karena merasa kurang memiliki waktu bersama anak.
"Yang saya belum mampu sekarang bagaimana manajemen waktu urus anak di rumah sendiri, dan kapan waktu istirahat dan belajar. Tidak ada orang yang bisa saya titipkan anak dan penitipan anak itu tidak murah."
Inggrita yang memilih untuk mengandung anak ketiga menunda keinginannya untuk ujian praktek sebagai dokter umum di Australia dan mengambil kursus dua tahun konseling menyusui di tahun 2014.
"Saya dari lulus [kuliah] selalu tertarik pada kesehatan wanita, kesehatan ibu dan bayi tapi tidak pernah terealisasi karena dipaksa keadaan untuk berpikir ke sana [menjadi dokter umum]," kata ibu dua anak itu.
"Setelah tidak lulus tes, saya berpikir apa yang harus dilakukan dan akhirnya ketemu organisasi ini, Asosiasi Menyusui Australia, organisasi sukarelawan yang berkontribusi menyediakan penasihat menyusui yang memenuhi syarat."
Perlu keahlian spesifik
Berbicara dari pengalaman, Darwin Wirawan mengatakan tidak semua teman arsiteknya berhasil melewati ujian untuk mendapat lisensi dari Dewan Pendaftaran Arsitek Victoria sebagai persyaratan untuk menjadi arsitek resmi di Australia.
"Memang banyak dari angkatan saya, cuma saya saja yang terdaftar," kata warga Indonesia pemegang visa Warga Tetap Australia yang kini adalah kepala dari perusahaan arsitekturnya sendiri di Victoria, Australia itu.
"Banyak yang tidak dapat lanjut. Maksud saya bukan karena masalah keuangan, tapi memang susah."
Darwin yang merupakan sarjana arsitektur dari Universitas Parahyangan datang ke Australia pada tahun 1998 di tengah keterpurukan bisnis properti Indonesia saat itu. Walau demikian, kondisi itu bukan sebab ia meninggalkan Indonesia.
"Saya ke Australia karena istri saya mau kuliah ambil Magister. Dan sebagai pasangan yang istrinya kuliah S2, saya bisa kerja penuh waktu secara legal."
Darwin merupakan salah satu warga Indonesia yang tidak pernah bekerja dalam bidang di luar keahliannya sejak pindah ke Melbourne 21 tahun yang lalu.
"Waktu saya lamar pekerjaan, semua ke bidang yang saya suka, saya bisa dan mirip dengan arsitektur. Saya lamar menjadi perancang grafis, perancang web, dan lain-lain," kata Darwin kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Waktu saya kerja di bidang interior, dapat juga [tawaran kerja] di bidang arsitektur. Akhirnya pindah ke arsitektur."
Mulai dari titik itu, pria yang memiliki dua orang anak tersebut bekerja di bidang arsitektur hingga memiliki perusahaan sendiri saat ini setelah 11 tahun bekerja di perusahaan lain.
Darwin mengatakan bahwa untuk dapat diterima bekerja di Australia, pendatang harus menguasai bidang spesifik tertentu untuk dapat bersaing dengan penduduk asli.
"Kalau misalnya mau masuk di bidang arsitektur, kalau tidak masuk lewat jalur arsitek bisa masuk lewat bidang lainnya tapi masih satu jalan," katanya.
"Anda harus bersaing dengan siswa lokal atau generasi kedua yang lahir dan besar di sini. Mereka sudah fasih dan persaingannya pasti sulit karena pemberi pekerjaan pasti memilih mereka."
"Tapi kalau Anda memiliki keahlian spesifik yang tidak mereka miliki, Anda pasti bisa masuk."
Sulit tapi optimis
Berbekal semangat, Dina Argitha, yang dulunya bekerja sebagai seorang psikolog anak di Indonesia selama satu tahun, terbang ke Melbourne, Australia untuk menempuh pendidikan S2 Studi Pendidikan Khusus dan Inklusif.
Dina yang saat ini sedang mengikuti kelas Bahasa Inggris sebelum masuk kuliah berharap untuk dapat bekerja di bidangnya setelah menyelesaikan pendidikannya di bidang disabilitas itu.
Sebagai seorang warga Indonesia yang baru tiba di bulan Agustus 2019, Dina sudah tahu bahwa akan sulit baginya untuk mendapat pekerjaan sesuai profesinya waktu di negara asal.
"Ada sekali [keinginan bekerja sebagai psikolog di Australia], tapi kalau kita mau ambil psikologi di sini kan susah. Harus penyetaraan," kata perempuan berusia 26 tahun itu.
"Saya belum tahu nanti bagaimana, tapi kelihatannya memang sulit."
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Dina kini bekerja sebagai seorang pengasuh anak sebanyak dua atau tiga kali seminggu.
"Saya baru mulai jadi pengasuh anak karena saya merasa kalau sekolah saja bosan sekali," kata Dina yang berpikir bahwa lingkungan kerja di Australia lebih baik dari di Indonesia.
"Saya sih tidak mengikuti gengsi karena kalau misalnya dihitung, bekerja paruh waktu di sini lebih baik daripada bekerja penuh waktu di Indonesia."
Pemerintah Australia perlu turun tangan
Mohammad Al-Khafaji, dari Federasi Dewan Komunitas Etnis Australia mengatakan pentingnya sambutan bagi para pendatang yang mau bekerja di Australia.
"Penting sekali memastikan bahwa pendatang baru merasa disambut dan diarahkan pada komunitas yang dapat membantu mereka. Pelayanan kami sejauh ini memberi dampak yang baik, tapi kemampuan kami pun terbatas."
Menurutnya, pemerintah Australia harus mulai memperhatikan para pendatang dan percaya pada kemampuan yang mereka bawa dari negara asal mereka.
"Fokus pemerintah, tentu saja adalah pada urusan bagaimana migran dan pengungsi bisa menetap di sin dengan baik."
"Tapi ini tidak dapat terjadi begitu saja tanpa adanya investasi dalam komunitas," katanya.
"Dan saya tahu beberapa politikus menyalahkan migran untuk beberapa urusan."
Menurut Mohammad, bias yang secara tidak sadar dimiliki pemerintah Australia menyebabkan migran kesulitan untuk bekerja di bidang profesional di negara ini.
"Kendala bahasa menjadi salah satu faktor pastinya. Ini menjadi sesuatu yang membedakan mereka dengan orang Australia," katanya.
"Hal lain adalah soal kualifikasi di Australia. Kita tidak mengakui kualifikasi pekerja luar negeri yang seharusnya diakui dan sayangnya, hal tersebut membuat dokter dan insinyur menjadi supir taksi atau Uber."
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia