Senin 04 Nov 2019 05:47 WIB

Perjanjian RCEP Diproyeksikan Rampung Februari 2020

Hasil dari RCEP akan berkontribusi terhadap 40 persen dari perdagangan global

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Perdagangan bebas (ilustrasi)
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Perdagangan bebas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK – Perjanjian dagang Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) kemungkinan akan diteken pada Februari 2020. Proyeksi ini disampaikan seorang juru bicara pemerintah Thailand pada Ahad (3/11) di tengah rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang tengah berlangsung di Thailand.

Banyak negara mengharapkan kesepakatan yang kemungkinan menjadi blok perdagangan terbesar di dunia ini dapat segera diselesaikan. Sebab, hasil dari RCEP akan berkontribusi terhadap 40 persen dari perdagangan global, 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) global dan menyangkut kehidupan setengah masyarakat dunia.

Baca Juga

Menurut draft pernyataan para pemimpin ASEAN, penandatanganan pakta RCEP kemungkinan akan berlangsung pada 2020. “Sebagian besar negosiasi akses pasar telah selesai dan beberapa masalah bilateral yang belum diselesaikan akan rampung pada Februari 2020,” seperti yang tertulis dalam rancangan perjanjian yang diperoleh AFP.

Dilansir di Strait Times, Ahad (3/11), negosiasi RCEP sudah terhambat selama beberapa tahun terakhir. Pernyataan terakhir menyebutkan, seluruh teks dari perjanjian yang berisikan 20 bab tersebut kini hanya tinggal menunggu satu anggota yang diyakini adalah India. Tapi, dikatakan, semua anggota berkomitmen menandatangani RCEP tahun depan di Vietnam.

Sikap India untuk menunda penyelesaian draft RCEP bukan tanpa sebab. New Delhi cemas, bisnis kecil mereka akan terpukul dengan banjirnya barang-barang murah dari Cina. "(Ini menciptakan) defisit perdagangan yang tidak berkealanjutan," ucap Perdana Menteri India Narendra Modi dalam sebuah wawancara yang diterbitkan Bangkok Post.

Seseorang yang dekat dengan negosiasi New Delhi mengatakan, pemerintah India baru saja membuat poin tuntutan baru pada pekan lalu. Tuntutan ini harus masuk dalam RCEP, namun terbilang sulit dipenuhi.

Apabila mengutip wawancara Modi kepada Bangkok Post, permintaan tersebut kemungkinan mengenai ‘imbal balik’ manfaat perdagangan. "Pembukaan pasar India yang luas harus diimbangi dengan membuka beberapa area, di mana bisnis kami dapat memperoleh manfaat," ucap Modi.

Di sisi lain, Beijing tampak mendesak RCEP. Sebelumnya, pemerintah Cina melihat RCEP sebagai pilar utama dalam memperluas jangkauan perdagangan di kawasan Asia karena potensi pasar yang hampir mencapai 650 juta orang.

Tapi, potensi itu menjadi sesuatu yang mendesak mengingat dampak perang dagang antara Cina dengan AS selama 16 bulan terakhir. Akibat perang dagang, pertumbuhan ekonomi Cina yang tercatat sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut harus dipangkas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement