REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, pembiayaan utang hingga akhir 2019 mencapai Rp 373,9 triliun. Prediksi ini melebihi 4,06 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu Rp 353,9 triliun. Tapi, ia memastikan kondisi ekonomi Indonesia tetap akan stabil.
Sri memastikan, besaran pembiayaan utang tersebut masih akan terjaga di kisaran 29,4 persen hingga 30,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu seperti yang ditargetkan pemerintah sejak tahun lalu.
"Rasio ini akan kami jaga supaya reputasi dan keberlanjutan APBN terjaga," ucapnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/11).
Sementara itu, sampai dengan akhir September 2019, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 317,7 triliun. Nilai tersebut tumbuh 3,7 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, Rp 306,4 triliun. Sri menuturkan, pembiayaan utang yang meningkat seiring dengan kebutuhan untuk menjaga ekonomi Indonesia dari dampak perlemahan global saat ini.
Sebelumnya, pemerintah juga sudah memproyeksikan terjadinya pelebaran defisit APBN sampai akhir tahun. Dari semula 1,93 persen dari PDB dalam proyeksi terakhir, kini pemerintah memprediksi kenaikan hingga di rentang 2,0 sampai 2,2 persen dari PDB.
Sri memastikan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus melakukan kebijakan pembiayaan utang secara hati-hati. Di antaranya, mengutamakan efisiensi dalam pembiayaan utang dengan strategi pengadaan yield dan cost of funds yang paling kompetitif.
Selain itu, pemerintah mendorong pemanfaatan instrumen yang lebih produktif. Misalnya, sukuk pembiayaan proyek untuk mendukung proyek yang produktif seperti pembangunan infrastruktur. Upaya lain, menjaga komposisi utang valas dan utang rupiah dalam porsi yang terkelola bagi perekonomian dengan tetap memprioritaskan sumber pembiayaan rupiah.
Pendalaman pasar keuangan domestik terus ditingkatkan. Antara lain dengan meningkaktan intensitas penerbitan surat berharga negara (SBN) ritel. Dengan berbagai upaya ini, Sri optimistis, utang Indonesia akan tetap terkendali.
Pada akhir 2018, rasio utang Indonesia tercatat berada di kisaran 29,8 persen terhadap PDB. Sri menyebutkan, nilai ini jauh lebih baik dibandingkan negara lain seperti Filipina dan Jepang yang masing-masing memiliki rasio utang 100 persen dan 200 persen dari PDB.
"Singapura pun mencapai 113 persen dari PDB, Malaysia di atas 50 persen dari PDB," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto berharap, pemerintah melalui Kementerian Keuangan dapat memperkuat terobosan-terobosan kebijakan yang lebih kreatif dan inovatif. Harapan ini disampaikan Dito mengingat ekonomi Indonesia sedang menghadapi pukulan dari perlambatan ekonomi global.
Dito menekankan, kebijakan inovatif tersebut khususnya dibutuhkan untuk mencegah risiko terhadap deviasi dalam pelaksanaan APBN 2019. "Baik dari sisi penerimaan, belanja maupun pembiayaan," kata politisi Partai Golkar itu.
Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo menambahkan, pemerintah juga patut mempertimbangkan stimulus tambahan untuk mendorong konsumsi masyarakat dalam waktu dekat.
Saran ini disampaikan Andreas mengingat faktor eksternal pendorong pertumbuhan ekonomi seperti ekspor, impor dan investasi tengah menghadapi tekanan dari global. Dampaknya, dorongan dari dalam negeri harus diperkuat, yakni konsumsi masyarakat.
Andreas menyebutkan, kini konsumsi masyarakat tengah mengalami pelemahan. Tren ini terlihat dari Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur yang dikonfirmasi dengan data dari perbankan. "Dan juga terlihat dari penerimaan dari sektor real estate yang melemah. Ini mengonfirmasi konsumsi masyarakat melemah di tahun ini," ucapnya.