REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini kebutuhan pembiayaan halal cukup tinggi, terlihat dari pertumbuhan pasar modal syariah setiap tahunnya yang mencapai 30 persen, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk memenuhi pembiayaan syariah, diversifikasi produk-produknya pun semakin banyak.
Selama ini investasi di saham dianggap tidak halal karena adanya unsur spekulatif dan judi. Lalu, bagaimana dengan saham syariah? Bagaimana hukumnya?
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengeluarkan fatwa mengenai hal ini. Dalam Fatwa No. 80/DSN-MUI/III/2011 disebutkan bahwa investasi saham dianggap sesuai syariah apabila hanya melakukan jual-beli saham syariah. Selain itu, dalam saham syariah tidak melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah seperti transaksi spekulatif.
Di Bursa Efek Indonesia (BEI) terdapat indeks komposit yang mencatat saham syariah yakni Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI). ISSI merupakan indikator dari kinerja pasar saham syariah Indonesia.
Konstituen ISSI adalah seluruh saham syariah yang tercatat di BEI dan masuk ke dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh OJK. Konstituen ISSI akan diseleksi ulang sebanyak dua kali dalam setahun, setiap bulan Mei dan November, mengikuti jadwal review DES.
Kemudian setelah itu, OJK akan merilis daftarnya dan selalu ada saham syariah yang keluar atau masuk menjadi konstituen ISSI. Dengan adanya review ini, emiten dalam DES ini telah dipastikan oleh OJK tidak memiliki portofolio yang tidak halal seperti:
1. Perjudian dan permainan yang tergolong judi
2. Perdagangan yang dilarang menurut syariah
3. Jasa keuangan dengan riba. Contohnya, bank dan perusahaan pembiayaan konvensional.
4. Jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan atau judi (maisir). Contoh asuransi konvensional.
5. Memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan barang atau jasa haram zatnya serta barang atau jasa yang merusak moral dan/atau bersifat mudarat. Contohnya alkohol dan rokok.
6. Melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah)
Selain memastikan kinerja perusahaan tidak menyimpang ke berbagai kegiatan yang tidak halal, OJK juga memastikan kinerja keuangan telah masuk prinsip dan ketentuan yang diperbolehkan dalam syariah.
Jadi, rasio keuangan emiten, seperti rasio perbandingan utang dengan total aset (debt to equity ratio) tidak lebih dari 45 persen. Kemudian rasio pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal tidak boleh melebihi dari 10 persen dari total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain.