Rabu 04 Dec 2019 15:48 WIB

2020, Pemprov DKI Tarik Sewa Pengelolaan Jaringan Utilitas

Semua jaringan utilitas tak boleh lagi berada di atas tanah.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Jaringan utilitas di DKI Jakarta tak lagi di atas tanah.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Jaringan utilitas di DKI Jakarta tak lagi di atas tanah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai gencar menata seluruh jaringan utilitas di udara yang berada di pinggir jalan Ibu Kota mulai 2020. Bukan hanya penataan, Pemprov DKI juga akan menarik sewa pengelolaan utilitas yang pembuatan dan pemeliharaannya diserahkan ke PT Jakarta Propertindo (Jakpro).

Kepala Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan mulai 2020 Pemprov DKI Jakarta akan menata sekua jaringan utilitas di Jakarta dengan menggunakan Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) 106 tahun 2019 bahwa semua jaringan utilitas tidak boleh lagi berada di atas.

"Tentunya dari SJUT itu yang biasanya kabel utilitas ada di atas, itu akan kita masukkan dalam SJUT kita. Selama ini belum ada namanya tarif pemanfaatan jaringan. Selama ini gratis. Masih ilegal yang diatas itu. Padahal itu harusnya sewa," kata Hari kepada wartawan di Gedung DPRD DKI, Selasa (3/12).

Mulai 2020, sebut Hari, Bina Marga melalui pihak Jakpro sebagai BUMD yang ditugasi membenahi jaringan utilitas, semua jaringan utilitas akan ditertibkan. Ia menyebut semua jaringan akan dibuatkan ducting system-nya. Dan ada taris sewanya.

Ia mengatakan dasar hukum penarikan sewa ini adalah Pergub nomor 106 tahun 2019 dan Peraturan Daerah (Perda) nomor 8 tahun 1999, yang rencananya juga nanti akan direvisi. "Nanti kita tertibkan kita masukkan dan nanti akan kita buat ada tarifnya. Kenapa, karena izinnya itukan izin atas pelayanan, namun selain izin itu ada tarif pemanfaatan jaringan," kata dia.

Soal penunjukan operator penataan yang diserahkan ke JakPro, Hari mengatakan sebenarnya dalam aturannya operator itu bisa BUMD, BUMN atau swasta, selain dari pihak Dinas Bina Marga sendiri. Namun Pemprov DKI sudah menyerahkan ke Jakpro sebagai BUMD.

Kemudian untuk besaran tarif, ia mengatakan selanjutnya akan ada FGD untuk kesepakatan tarif permeternya. Di sana akan dibahas berapa tarif untuk PLN, berapa untuk Telkom, berapa untuk Apjatel (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi), dan seterusnya.

"Nah kemarin dari Jakpro sudah mengusulkan tiga tarif. Tarif pertama kisaran Rp 13-17 ribu per meter, kedua Rp 25-27 ribu per meter dan tarif ketiga dari Rp 50-70 ribu per meter, itu pun baru usulan," imbuhnya.

Kepastian tarifnya, kata dia, nanti sewaktu FGD akan dicari formatnya berapa yang wajarnya. Karena tarif utilitas itu, menurut dia, harus dibayarkan per tahun. Hari juga memastikan untuk rencana awal pada 2020, ada empat kawasan pertama yang akan dimulai penataan utilitasnya menggunakan SJUT atau ducting system tersebut, diantaranya wilayah Jalan MT Haryono, Jalan Gatot Subroto, Jalan Rasuna Said dan Jalan Hasyim Asyari.

Sekretaris Perusahaan Jakpro Hani Sumarno menjelaskan pihaknya telah melakukan sosialisasi regulasi kepada para pemangku kepentingan terkait proyek penataan utilitas ini. Beberapa operator jatingan utilitas seperti Apjatel, Telkom, PLN, PGN, dan PAM Jaya.

"Untuk penentuan tarif akan berbeda-beda di tiap jalan, tergantung beberapa aspek yang masih dikaji," katanya.

Sementara ini, Jakpro baru memperkirakan beberapa faktor yang akan menentukan besaran tarif yakni konsep pengelolaan, sewa lahan, metode kerja, panjang ruas jalan, penyediaan kapasitas, dan ukuran ducting.

Sementara itu, Ketua Umum Apjatel Muhammad Arif Angga mengungkap pihaknya mendukung program dari Pemprov DKI ini. Menurutnya, jaringan utilitas terpadu sangat dibutuhkan karena merupakan cermin kepastian investasi terkait telekomunikasi di suatu daerah.

Akan tetapi, soal usulan tarif yang sempat disampaikan Jakpro dan Pemprov DKi, diakui dia, anggota Apjatel masih belum sepakat. Pihaknya akan terus mengupayakan negosiasi dalam diskusi yang akan digelar.

"Tentunya kalau dari operator, pastinya lebih murah kalau kita menurunkan kabel sendiri. Karena tidak ada sewa. Tapi karena sudah jadi aturan, kita akan mendukung. Asalkan harga sewanya sesuai dan terbilang wajar," ujarnya.

Selain itu, menurut Arif pemerintah perlu memberikan insentif bagi para operator yang mematuhi aturan. Sebab, biaya relokasi kabel udara eksisting ke bawah tanah terbilang besar, mencapai Rp 100.000 sampai Rp 120.000 per meter.

"Jadi kita bukan mempermasalahkan sewa kemahalan atau apa. Adanya kebijakan ini kan karena belum ada blueprint-nya tentang ini [jaringan bawah tanah] juga. Jadi, lebih baik secepatnya kita dan pemprov duduk bersama," imbuhnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement