REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Tujuh tokoh peraih Nobel Perdamaian menyerukan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya. Suu Kyi diketahui tengah mengikuti persidangan dugaan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.
Tujuh tokoh penerima Nobel Perdamaian yang menyerukan hal tersebut adalah Shirin Ebadi, Leymah Gbowee, Tawakkol Karman, Mairead Maguire, Rigoberta Menchu, Jody Williams, dan Kailash Satyarthi. "Kami menyerukan Aung San Suu Kyi, seorang penerima hadiah Nobel Perdamaian, untuk secara terbuka mengakui kejahatan, termasuk genosida, yang dilakukan terhadap Rohingya," kata mereka dalam pernyataan yang dirilis di situs web Nobel Women’s Initiative, dikutip Anadolu Agency, Selasa (10/12).
Mereka mengaku sangat mencemaskan apa yang terjadi dan dialami Rohingya. "Kami sangat prihatin bahwa alih-alih mengutuk kejahatan ini, Aung San Suu Kyi secara aktif menyangkal bahwa kekejaman ini bahkan terjadi," ujar mereka.
Mereka pun mengapresiasi langkah yang diambil Gambia untuk membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ. "Kami memuji Gambia karena mengambil langkah ini untuk membuat Myanmar bertanggung jawab atas genosida terhadap Rohingya, serta untuk memajukan keadilan bagi para korban kejahatan ini," katanya.
Tujuh tokoh peraih Nobel Perdamaian itu mendesak Suu Kyi menangani dan mengatasi tindakan diskriminasi sistematis terhadap etnis Rohingya. Hal itu termasuk memastikan setiap orang Rohingya diberi hak untuk memperoleh kewarganegaraan, kepemilikan tanah, kebebasan bergerak, dan hak-hak dasar lainnya.
Gambia mengajukan kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ pada awal November lalu. Gugatan terhadap Myanmar diajukan Gambia dengan mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Gambia menilai Myanmar telah melanggar Kovensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut. Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ.