REPUBLIKA.CO.ID, Imam al-Qusyairy an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima Hijriah, tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada bulan Rabiul Awal tahun 376H atau tahun 986M,
Melalui Risalah al-Qusyairiyah yang merupakan karya menumentalnya di bidang tasawuf, dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama tasawuf yang bercorak Sunni, al-Qusyairy cenderung mengembalikan tasawuf ke dalam landasan doktrin Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Hal ini tak lain karena Imam al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin-doktrin Ahli Sunnah Wal Jamaah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari (w 935M) dan para pengikutnya.
Dr Abu al-Wafa' al-Ghanami al-Taftazani, guru besar filsafat Islam dan tasawuf pada Universitas Kairo, juga tokoh yang pernah menjabat sebagai ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Rabithoh al-Shufihiyyah al-Mishriyyah), menulis bahwa Imam al-Qusyairy mengritik para sufi beraliran syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan atau hulul antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya.
Al-Qusyairy juga mengritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu memakai pakaian orang-orang miskin, namun perilaku mereka bertentangan dengan mode pakaian yang mereka pakai. Ia menekankan kesehatan batin dengan berpegang pada Alquran dan sunah Rasul, hal ini lebih disukainya, daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud tetapi hatinya tidak demikian.
Dari sini dapat dipahami bahwa al-Qusyairi tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah, dan beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan agama.
Karena itu al-Qusyairy menyatakan, bahwa penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiayah, termotivasi karena dirinya merasa sedih, melihat persoalan yang menimpa dunia tasawuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun di antara para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia tasawuf saat itu.