Selasa 17 Dec 2019 09:09 WIB

Soal Berita Uighur, Muhammadiyah Desak WSJ Minta Maaf

Pemberitaan WSJ dinilai tidak berdasar dan merusak nama baik ormas Islam Indonesia.

Pagar penjagaan di kamp penahanan, yang secara resmi disebut pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang untuk Muslim Uighur.
Foto: Reuters/Thomas Peter
Pagar penjagaan di kamp penahanan, yang secara resmi disebut pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang untuk Muslim Uighur.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA –- Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan keberatan atas meruaknya anggapan bahwa ormas-ormas Islam di Indonesia bisa dirayu oleh Pemerintah RRC terkait sikap atas kondisi di Xinjiang, Cina. Mereka meminta media Amerika Serikat, Wall Street Journal (WSJ), yang memulai isu itu untuk menyatakan permintaan maaf.

"PP Muhammadiyah mendesak Wall Street Journal meralat berita itu dan meminta maaf kepada warga Muhammadiyah. Bila hal itu tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di Yogyakarta, Senin (16/12).

Baca Juga

Haedar juga menyesalkan pemberitaan yang menyebut adanya fasilitas dan lobi-lobi Pemerintah Cina untuk memengaruhi sikap politik ormas-ormas Islam di Indonesia, baik terhadap PP Muhammadiyah, PB Nahdlatul Ulama (PBNU), maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas permasalahan HAM di Xinjiang. Ia menilai pemberitaan itu sangat tidak berdasar dan merusak nama baik ormas Islam di Indonesia.

Selain mendesak permohonan maaf itu, PP Muhammadiyah mendesak kepada Pemerintah Cina untuk lebih terbuka memberikan informasi dan akses masyarakat internasional, terutama terhadap kebijakan di Xinjiang dan kepada masyakarat Uighur.

Muhammadiyah meminta Pemerintah Cina menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM, khususnya ke masyarakat Uighur, terlepas dari dalih apa pun. Mereka diimbau menyelesaikan masalah Uighur secara damai melalui dialog. "Serta memberikan kebebasan kepada Muslim untuk melaksanakan ibadah dan memelihara identitas," ujar Haedar menekankan.

PP Muhammadiyah kemudian turut mendesak kepada PBB untuk mengeluarkan resolusi terkait pelanggaran HAM yang terjadi, baik terhadap masyarakat Uighur, Rohingya, Palestina, Suriah, Yaman, maupun India. “Mendesak Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengadakan sidang khusus dan mengambil langkah-langkah konkret hentikan segala bentuk pelanggaran HAM yang dialami umat Islam, khususnya di Xinjiang,” kata Haedar lagi.

PP Muhammadiyah mendesak pula Pemerintah Indonesia menindaklanjuti arus aspirasi umat Islam dan bersikap lebih tegas untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM di Xinjiang. Hal itu dinilai sesuai dengan amanat UUD 1945 dan politik luar negeri yang bebas aktif. "Untuk menggalang diplomasi bagi dihentikannya pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa negara lainnya," kata Haedar.

Haedar mengimbau umat Islam agar menyikapi masalah pelanggaran HAM di Xinjiang dengan penuh kearifan, rasional, damai, dan tetap memelihara ukhuwah Islamiyah serta persatuan bangsa. Ia berharap tidak ada pihak-pihak yang sengaja menjadikan masalah Uighur sebagai komoditas politik kelompok dan partai tertentu. "Dan memecah belah umat dan bangsa melalui media sosial, media massa, dan berbagai bentuk provokasi lainnya," ujar Haedar.

photo
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir

Artikel yang menjadi objek keberatan Muhammadiyah diterbitkan WSJ pada 11 Desember lalu dengan judul “How China Persuaded One Muslim Nation To Keep Silent on Xinjiang Camps”. Dalam artikel itu, WSJ mula-mula memaparkan soal kencangnya suara sejumlah pihak di Tanah Air, termasuk Muhammadiyah, terkait isu penahanan jutaan anggota etnis Uighur dalam kamp reedukasi di Xinjiang.

Sehubungan munculnya kritik terhadap Cina itu, menurut WSJ, Cina kemudian melakukan operasi guna “merayu” pihak-pihak di Tanah Air agar melunakkan sikap mereka atas isu Xinjiang. Caranya dengan mengundang perwakilan ormas Islam, media, pegiat media sosial, Kedutaan Besar RI, dan lainnya guna mengunjungi Xinjiang.

Selain itu, menurut WSJ, Cina juga menggelontorkan sejumlah beasiswa dan pendanaan untuk ormas Islam, terutama Nahdlatul Ulama. WSJ memaparkan bagaimana kunjungan-kunjungan itu dirancang sedemikian rupa untuk mengesankan bahwa keadaan di Xinjiang baik-baik saja.

Setahun setelah operasi tersebut, menurut WSJ, pandangan ormas-ormas Islam di Indonesia terkait kondisi di Xinjiang mulai berubah. WSJ mengutip pandangan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj selepas operasi Cina tersebut serta pertemuan dengan duta besar Cina untuk RI, yang menyatakan bahwa laporan media internasional soal kondisi di Xinjiang tak bisa dipercaya. WSJ juga menuliskan pandangan seorang tokoh Muhammadiyah dalam majalah bulanan ormas tersebut yang menilai kondisi kamp di Xinjiang sangat baik.

Di Indonesia, artikel WSJ itu diterjemahkan CNN Indonesia dengan judul “Media Asing: China Suap Ormas Islam Agar Diam soal Uighur” dan kemudian menyebar luas. Belakangan, Jumat pekan lalu, judul itu diralat dengan mengganti kata “suap” menjadi kata “rayu” seperti pada judul di WSJ.

photo
Ketua MUI bidang hubungan luar negeri Muhyiddin Junaidi dan Gubernur Xinjiang Shorat Zakir.

Diatur

Terlepas dari keberatan Muhammadiyah atas artikel itu, Ketua Kantor Kerja Sama Internasional dan Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah KH Muhyiddin Junaidi mengakui, kunjungan yang diadakan Cina memang terkesan diatur. Muhyiddin berangkat bersama perwakilan NU dan MUI ke Xinjiang pada Februari tahun ini. Jurnalis Republika, Bayu Hermawan, menyertai rombongan itu.

"Kami tidak bebas berkomunikasi dengan masyarakat karena (kata Pemerintah Cina) ada agenda ketemu dengan masyarakat di (wilayah) Kashgar dan Hotai," kata Muhyiddin di gedung Dakwah Muhammadiyah, Senin (16/12). KH Muhyiddin menyampaikan, ternyata masyarakat di Kashgar dan Hotai sudah diatur oleh Pemerintah Cina. Menurut dia, jadwal kunjungan ormas Islam ke Xinjiang untuk melihat etnis Uighur sangat diatur oleh Pemerintah Cina.

Sebelumnya, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menyampaikan, konstitusi Cina memang mengatakan, agama hanya bisa diterapkan di tempat tertutup. Oleh karena itu, Muslim Uighur tidak bisa melaksanakan ibadah di tempat umum atau di tempat pelatihan kerja yang dibuat Pemerintah Cina.

Menurut dia, Pemerintah Cina hanya membawa perwakilan ormas Islam ke tempat yang dianggap baik, yakni ke tempat latihan kerja. "Kami temukan bahwa para peserta (pelatihan kerja adalah) umat Islam yang memiliki perbedaan sikap dengan sikap Pemerintah Cina, (umat Islam yang) dianggap radikal," kata dia.

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU KH Masduki Baidlowi juga menyampaikan, ormas-ormas Islam memang pernah diundang oleh Pemerintah Cina ke Xinjiang. KH Masduki mengatakan, PBNU tidak akan pernah menjadi corong siapa pun dalam konteks hubungan sebagai Muslim dengan warga Muslim yang ada di Cina, khususnya di Xinjiang. "Jadi, kami tidak akan pernah menjadi corong Barat, tidak akan pernah menjadi corong Amerika, juga tidak akan pernah menjadi corong Pemerintah Cina," kata dia.

Wartawan WSJ yang menulis artikel tersebut, Jon Emont, mengaku sudah mendengar perihal keberatan berbagai pihak. “Ya, saya sudah mendengar keberatan tersebut,” kata dia saat dihubungi Republika, kemarin. Ia mengatakan, persoalan itu akan dibicarakan di internal medianya. n wahyu suryana/fuji e permana, ed: fitriyan zamzami

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement