Kamis 19 Dec 2019 19:28 WIB

Demonstran Hong Kong Minta Dukungan kepada Pemerintah Asing

Demonstran mendesak RUU HAM untuk meningkatkan tekanan terhadap Beijing.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Demonstrasi di Hong Kong, ilustrasi
Foto: VIncent Thian/AP
Demonstrasi di Hong Kong, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Aksi protes menghiasi kantor-kantor konsulat asing di Hong Kong. Para pengunjuk rasa mendesak pemerintah asing agar mengikuti jejak Amerika Serikat (AS) dalam meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hak Asasi Manusia (HAM), untuk meningkatkan tekanan terhadap Beijing.

Sekitar 1.000 orang mengenakan pakaian serba hitam dilengkapi dengan topeng melakukan long march dari konsulat Australia, Inggris, Uni Eropa, Jepang, AS, dan Kanada untuk mengirim petisi.

Baca Juga

“Apa yang terjadi di Hong Kong bukan hanya masalah lokal, ini tentang hak asasi manusia dan demokrasi. Pemerintah asing harus memahami bagaimana kota ini ditekan. Kita perlu terus mencari perhatian internasional dan memberi tahu mereka bahwa gerakan ini tidak kehilangan momentum," ujar salah satu peserta aksi protes, Suki Chan.

Petisi yang dikirimkan ke kantor-kantor konsulat asing tersebut meminta agar pemerintah asing mendukung Hong Kong dengan mengeluarkan undang-undang untuk memberikan sanksi visa. Selain itu, mereka juga meminta agar pemerintah asing membekukan aset pejabat pemerintah Cina dan Hong Kong.

Pada November lalu, Senat AS mengeluarkan RUU yang bertujuan melindungi hak asasi manusia di Hong Kong dan telah ditandatangani oleh Presiden Trump. RUU tersebut mengharuskan Departemen Luar Negeri AS untuk menyatakan, setidaknya setiap tahun, bahwa Hong Kong mempertahankan otonomi yang cukup sebagai syarat untuk melakukan perdagangan dengan AS. Hal itu membantu Hong Kong untuk mempertahankan posisinya sebagai pusat keuangan dunia.

Kongres meloloskan RUU kedua, yang juga ditandatangani oleh Trump. RUU ini melarang ekspor kepada pihak kepolisian Hong Kong yang mencakup barang-barang amunisi pengendalian massa, seperti gas air mata, semprotan merica, peluru karet, dan pistol setrum. RUU tersebut juga mengancam sanksi atas pelanggaran hak asasi manusia.

Protes anti-pemerintah di Hong Kong telah berlangsung selama lebih dari enam bulan. Mereka tidak setuju dengan sikap campur tangan Cina dalam pemerintahan Hong Kong. Para demonstran menilai, campur tangan Cina tersebut tidak sesuai dengan kebebasan yang dijanjikan ketika Inggris menyerahkan Hong Kong kepada pemerintah Cina pada 1997.

Sementara itu, Beijing membantah telah ikut campur dalam urusan hukum dan pemerintahan Hong Kong. Beijing berdalih, mereka berkomitmen untuk menjalankan formula "satu negara, dua sistem" yang diberlakukan dari perjanjian pada tahun 1984. Dalam sistem tersebut, Cina menjamin otonomi sepenuhnya terhadap Hong Kong.

Dalam sebuah pernyataan, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mendesak China untuk membuka dialog dengan para demonstran Hong Kong. Selain itu, Raab juga meminta China menghormati komitmen dalam perjanjian 1984.

"Kerangka kerja 'satu negara, dua sistem' jelas cacat. Kita harus memberi tahu komunitas internasional agar mereka juga dapat membantu kita," ujar seorang pengunjuk rasa, Ivan Fung.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement