Jumat 24 Jan 2020 08:25 WIB

Kedudukan Saksi dalam Pandangan Islam

Para ulama berselisih pendapat mengenai boleh tidaknya menghadirkan saksi.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Kedudukan Saksi dalam Pandangan Islam
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Kedudukan Saksi dalam Pandangan Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama saling berselisih pendapat mengenai boleh tidaknya menghadirkan suara saksi antara pihak tergugat dan yang menggugat.  Menurut Imam Abu Hanifah, saksi tidak perlu didengar kecuali dalam urusan nikah dan perkara-perkara lain yang tidak berulang.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd dijelaskan, menurut sebagian ulama yang lain, saksi tidak perlu didengar sama sekali. Namun begitu, bagi Imam Malik dan Imam Syafi'i, suara saksi perlu didengar. Alasannya, agar saksi dapat memberikan kesaksian kepada penggugat mengenai hal yang diketahuinya.

Baca Juga

Menurut Imam Abu Hanifah, letak kekuatan saksi tidak pada keadilannya. Namun menurut Imam Malik, tidak pada jumlahnya. Sedangkan menurut Al-Jauza'i hal itu terletak pada jumlahnya. Dan apabila seluruh saksi sama-sama adil, maka menurut Imam Malik, keberadaan saksi-saksi itu menjadi tidak berguna.

Hal itu karena pihak tergugat telah diambil sumpahnya. Jika ia menolak maka penggugatlah yang bersumpah. Sehingga hak itu menjadi milik penggugat sebab posisi tergugat adalah sebagai saksi atau buktinya.

Namun, seluruh ulama sepakat, jika tergugat menyanggah saksi sebelum ada keputusan, maka keputusannya itu batal. Tapi jika ia menyanggahnya sesudah ada keputusan, menurut Imam Malik, maka keputusan itu tidak batal. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, itu batal.

Jika si saksi menarik kembali kesaksiannya, maka harus dilihat dulu apakah ia melakukan ini sebelum atau sesudah keputusan dijatuhkan. Kalau sebelumnya, maka menurut sebagian besar ulama, keputusan ini berlaku tetap.

Tak hanya mengenai hal itu, hakim juga perlu memperhatikan waktu yang tepat untuk mengadili. Di antaranya, mempertimbangkan kondisi internal psikis si hakim itu sendiri apakah siap atau belum untuk mengadili.

Kondisi psikis seorang hakim juga dapat berkontribusi pada sikap keputusan yang diambil. Kondisi psikis hakim yang baik ketika mengadili berpotensi memahami persoalan secara jernih, sedangkan jika sebaliknya maka dikhawatirkan keputusan yang diambil akan tak berimbang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement