REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam tradisi Islam, mengkritisi pemimpin di ruang publik secara terbuka adalah hal lumrah. Misalkan saja, ketika Umar bin Khattab RA yang tidak mau membagi-bagi tanah Syam yang ditaklukkan para mujahidin kepada kaum Muslimin. Nafi' bin Maula Ibnu Umar RA meriwayatkan, tindakan khalifah Umar bin Khattab RA tersebut diprotes Bilal bin Rabbah RA secara tegas.
"Bagilah tanah itu, atau kami ambil tanah itu dengan pedang!" tegas Bilal kepada Umar yang disuarakannya di depan umum. (HR Baihaqi). Riwayat ini menjadi dalil, bolehnya berbicara tegas dan lantang kepada pemimpin di depan umum.
Tak ubahnya dalam konteks kekinian, di mana segala sesuatunya disampaikan dengan terbuka dan transparan. Siapa pun bisa menulis opini, berdemonstrasi, hingga berkicau di media sosial soal pemimpin mereka. Kritikan kepada pemimpin disampaikan dengan tegas dan bebas. Namun, tentu saja ada batas-batas adab Islami yang perlu diperhatikan.
Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis mengatakan, komunikasi pemimpin dan rakyat yang dipimpin telah diqiyaskan dalam pelaksanaan shalat berjamaah. Seorang imam punya persyaratan-persyaratan untuk memimpin makmum, seperti fasih bacaan, fakih, lebih tua, mukimin, dan sebagainya. Ketika si imam salah, baik dalam perkataan dan perbuatan, maka makmum berkewajiban mengingatkan si imam.
"Bagi laki-laki baca subhanallah, bagi perempuan tepuk tangan. Qiyasan shalat ini pada kehidupan bernegara. Kalangan parlemen dan orang dekat presiden bisa bicara langsung pada presiden sebagaimana makmum laki-laki mengucap subhanallah. Tapi, bagi yang jauh, kritikannya kepada imam dengan tepuk tangan. Mungkin sama dengan rakyat yang demo dan sebagainya," katanya memaparkan kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu.
"Tepuk tangan dan ucapan subhanallah itu tidak pula sampai sorak-sorak. Hanya sekadar si imam itu tahu kalau dia salah. Jadi, rakyat yang merasa tidak terwakili aspirasinya oleh parlemen bisa berdemo. Tetapi, jangan demo yang merusak. Inilah adab dalam mengingatkan pemimpin," katanya menambahkan.
Tidak hanya bagi rakyat, Cholil juga menyasar pada pemimpin. Sebagaimana dalam shalat, seorang imam tidak boleh ngotot kalau dia yang benar. Jika memang dia salah, ia segera kembali pada kebenaran. Bahkan, ia bertobat dengan sujud sahwi pada akhir masa jabatannya sebagai imam.
"Seorang imam, telinganya harus kuat dan peka membaca aspirasi rakyatnya. Kalau di media sosial memang tidak bisa diakomodir dan menjadi landasan membuat kebijakan. Tapi, kalau dari tokoh masyarakat itu bisa ditanggapi," jelasnya.
Kicauan masyarakat yang terkadang vulgar dalam mengkritisi pemimpin di media sosial juga perlu dihindari. Menurut Cholil, bukan seperti itu etika Islam dalam menyampaikan kebenaran. "Media sosial itu sekarang jadi barometer kebebasan orang. Mereka bebas menyampaikan apa saja. Di media sosial tidak ketahuan mimiknya, sehingga secara psikologi menempatkan semua orang sama tanpa ada batasan pendidikan, kedudukan, dan sebagainya," katanya menambahkan.
KH A Cholil Ridwan Lc menambahkan, pada dasarnya nasihat untuk siapa saja adalah intisari dari kehidupan beragama. Hadis Rasulullah SAW menyebutkan, "Agama adalah nasihat." (HR Muslim).
Menurut Kiai Cholil, pada dasarnya setiap Muslim harus menutup aib saudaranya sesama Muslim. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Siapa yang menutupi aib saudaranya sesama Muslim di dunia, Allah menutupi aibnya di hari kiamat." (HR Ahmad). Namun, bagi pejabat publik yang mencurangi rakyatnya, hal ini tak termasuk lagi dalam kategori aib yang harus ditutupi.
"Kalau kita membuka aib orang tanpa ada alasan atau kepentingan yang lebih besar, itu melanggar etika Islam. Tapi, kalau kasusnya pemimpin yang korupsi, misalkan. Data dan buktinya ada. Ini jadi keharusan karena ini menegakkan kebenaran," jelasnya.
"Bisa juga pemimpin yang melanggar etika. Ada pejabat yang selingkuh atau tertangkap kamera di tempat pelacuran. Ini boleh-boleh saja diekspos. Alasannya, karena dia pemimpin yang harus menjadi contoh bagi umatnya. Ini bukan fitnah," katanya menambahkan.