REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dijadwalkan merilis rencana perdamaian Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Palestina, pada Selasa (28/1). Rencana itu telah cukup lama dinanti dunia Arab.
Seorang sumber eksklusif, yang dikutip Al Arabiya, mengungkapkan dalam rencana itu tercakup pula solusi dua negara bagi Israel dan Palestina. Sebelumnya penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner sempat menyatakan bahwa dalam rencana perdamaian tersebut tak ada frasa "solusi dua negara".
Sumber itu pun menyebut rencana perdamaian akan tetap mempertahankan status Haram al-Sharif di Yerusalem di bawah pengawasan Kerajaan Yordania. Namun sejumlah sumber yang dikutip the Washington Post mengatakan, dalam rencana itu, Trump mengusulkan tentang penarikan garis perbatasan antara Israel dan wilayah Tepi Barat yang diduduki. Permukiman ilegal yang telah berdiri di Tepi Barat disebut akan masuk teritorial Israel.
Namun, belum diketahui permukiman mana saja yang akan menjadi wilayah Israel. Menurut dua sumber, rencana perdamaian yang disusun Trump turut mencakup beberapa bentuk kontrol keamanan Israel atas Tepi Barat.
Rencana tersebut akan menawarkan otonomi terbatas terlebih dulu kepada Otoritas Palestina atas wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Kepemimpinan Palestina nantinya akan memasuki fase waktu tiga tahun untuk menegosiasikan kontrol lebih lanjut.
Hal itu tentu jauh dari tuntutan Palestina yang menghendaki kemerdekaan penuh dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Gedung Putih masih enggan mengomentari laporan yang diterbitkan Washington Post.
Sedangkan, New York Times melaporkan bahwa rencana perdamaian Trump mengusulkan bahwa Israel memiliki kedaulatan atas sebagian besar Lembah Yordan. Ia adalah wilayah strategis yang membentang dari utara ke selatan di sepanjang perbatasan Yordania. Para perencana pertahanan dan tokoh politk Israel telah melihat Lembah Yordan sebagai perbatasan timur ideal bagi negara mereka.
Kendati belum resmi dirilis, rencana perdamaian Timur Tengah yang disusun Trump telah ditolak Palestina. Menurut Palestina, rencana itu pasti memihak pada kepentingan politik Israel.
"Kami menolaknya dan kami menuntut komunitas internasional untuk tidak menjadi mitra karena hal itu bertentangan dengan dasar-dasar hukum internasional serta hak-hak warga Palestina yang tak dapat dicabut," kata Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh saat pertemuan kabinet di Ramallah, Tepi Barat, Senin (27/1).
Pada Juni 2019, AS menghelat konferensi ekonomi bertajuk “Peace for Prosperity” di Manama, Bahrain. Dalam kegiatan tersebut, Jared Kushner merilis rencana perdamaian Israel-Palestina bagian pertama.
Dalam rencana itu, Kushner berupaya menghimpun dana investasi sebesar 50 miliar dolar AS untuk Palestina dari sejumlah negara dan investor. Dana tersebut diharapkan dapat membantu perekonomian Palestina yang macet serta pembangunan infrastruktur di sana.
Namun, rencana itu menuai kritik keras dari Yordania dan Palestina. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan menolak rencana tersebut karena tak memenuhi tuntutan politik negaranya. "Uang itu penting. Ekonomi penting. Tapi politik lebih penting. Solusi politik lebih penting," kata Abbas.
Palestina tak lagi memandang AS sebagai mediator yang netral dalam penyelesaian konflik dengan Israel. Washington dianggap membela kepentingan politik Negara Zionis. Hal itu tercermin dari beberapa kebijakan Trump, seperti mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 dan tak lagi menganggap ilegal permukiman Israel.