REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak sawit Indonesia sepanjang 2019 mencapai 51,8 juta ton CPO. Jumlah ini meningkat sekitar 9 persen dari produksi tahun 2018 sebesar 47 juta ton.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menyebutkan bahwa produksi tersebut terdiri dari CPO (crude palm oil) sebanyak 47,18 juta dan PKO (palm kernel oil) sebesar 4,6 juta ton.
"Ini menunjukkan tren dari Januari sampai Desember (2019) memang normal. Dalam hal tren, kenaikan masih normal, hanya di dua sampai tiga bulan terakhir saja yang agak sedikit melandai," kata Joko pada konferensi pers Refleksi Industri Sawit Tahun 2019 di Jakarta, Senin (3/2).
Joko menjelaskan, sepanjang 2019 permintaan domestik juga tumbuh sebesar 24 persen menjadi 16,7 juta ton. Adapun permintaan dalam negeri paling tinggi berasal dari konsumsi biodiesel sebesar 49 persen, pangan 14 persen dan oleokimia sebesar 9 persen.
Menurut dia, tahun 2019 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi industri sawit Indonesia. Berbagai tantangan tersebut, seperti implementasi kebijakan RED II oleh EU yang menghapuskan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku bioidiesel.
Kemudian, perbedaan tarif impor produk minyak sawit Indonesia ke India, kemarau yang berkepanjangan, perang dagang Amerika Serikat dan China, serta harga CPO yang terus menurun merupakan tantangan utama yang dihadapi industri sawit hampir sepanjang tahun 2019.
Perang dagang AS dan China menyebabkan ekspor kedelai ke China terkendala. Sehingga, petani AS yang biasanya memasok dalam jumlah besar ke China harus mencari pasar baru yang menyebabkan harga oilseed dan juga minyak nabati tertekan.
Selain itu, Presiden Jokowi juga sempat menyampaikan dalam pidato kenegaraannya bahwa Indonesia akan lebih banyak mengkonsumsi minyak sawit untuk keperluan dalam negeri, terutama untuk biofuel. Dampaknya, harga CPO rata-rata KPBN terus melonjak menjadi 483 dolar AS, 497 dolar AS, 582 dolar AS, dan 651 dolar AS per ton pada September-Desember 2019.