REPUBLIKA.CO.ID, Dalam bahasa Arab sering kita jumpai adalah lafal yang musytarak, yaitu satu kata yang punya banyak makna.
Di antara contoh lafal yang musytarak ini adalah kata quru’, yang punya dua makna yang berbeda, sebagaimana tertuang dalam surah al-Baqarah ayat 228. “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’.”
Perbedaan makna secara bahasa ini kemudian berpengaruh kepada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menetapkan masa iddah wanita yang dicerai suaminya.
Ustaz Ahmad Sarwat, dalam buku Salah Paham Al-Quran, menjelaskan perbedaan pemaknaan quru’ dalam Alquran sebagai berikut:
1. Quru’ adalah masa suci
Dalam pandangan Mazhab al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah, al-qur’u berarti ath-thuhru (الطُّهْر ). Maksudnya adalah masa suci dari haid. Jadi, tiga kali quru’ artinya adalah tiga kali suci dari haid.
Kebanyakan para sahabat, juga para ahli fiqih Madinah, berpendapat bahwa quru' adalah masa suci dari haid.
Al-Malikiyah: Ad-Dasuqi, salah seorang ulama Mazhab al-Malikiyah, dalam kitab Hasyiyatu Ad-Dasuqi 'ala asy-Syarhu al-Kabir menyebutkan:
“Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan aqra' sebagai ukuran masa iddah seorang wanita adalah masa suci merupakah pendapat dari tiga mazhab. Dan itu berbeda dengan pandangan al-Hanafiyah serta para pendukungnya yang mengatakan bahwa aqra' itu adalah masa haid.”
Asy-Syafi'iyah : Dan hal yang sama dikemukakan an-Nawawi dalam kitab Raudhat ath-Thalibin. Yang dimaksud dengan aqra' dalam urusan iddah adalah masa suci.
2. Quru' adalah masa haid
Sedangkan dalam pandangan Mazhab al-Hanafiyah, al-qur’u justru bermakna haid, atau hari-hari dimana seorang wanita menjalani masa haidnya.
Al-Hanabilah menyebutkan, ada dua riwayat yang berbeda tentang pendapat al-Imam Ahmad dalam hal ini. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau berpandangan bahwa quru' itu adalah suci dari haid.
Sebagian riwayat yang lain sebaliknya, bahwa al-Imam Ahmad dianggap telah mengoreksi pendapat sebelumnya dan cenderung berpendapat bahwa quru' adalah haid itu sendiri. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni memberikan penjelasan:
“Al-Qadhi berkata bahwa yang benar tentang Imam Ahmad bahwa aqra itu adalah haidh, dan seperti itulah pendapat ulama kami. Beliau telah mengoreksi pendapat sebelumnya bahwa aqra itu suci. ”
Menurut Ibnul Qayyim dalam I'lam al-Muwaqqi'in, Imam Ahmad itu awalnya berpendapat bahwa quru itu suci dari haid, namun kemudian beliau mengoreksi pendapatnya dan berpendapat bahwa quru' itu adalah haid. (Ibnul Qayyim, I'lamul Muqaqqi'in, jilid 1 hal. 25)