REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hubungan internasional masyarakat Jawa diduga di mulai sejak masa Kesultanan Demak. Deden Herdiansyah mengutip HJ De Graaf dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram menulis tentang keberadaan jamaah yang berpengaruh sehingga dapat mengadakan hubungan dengan pusat-pusat Islam internasional di luar negeri (di Tanah Suci, dan bila perlu khilafah Turki). Ini yang membedakan pemerintahan negara Keraton Majapahit dengan Kesultanan Demak.
De Graaf juga menyebut, hubungan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak terkait dengan gelar sultan yang disandang Sultan Trenggana. Gelar sultan untuk Raja Demak ketiga itu di berikan oleh Syekh Nurullah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.
Mengutip cerita Jawa, De Graaf mengungkapkan, Syekh Nurullah telah pergi ke Tanah Suci Makkah. Kepergian tersebut tergolong istimewa mengingat buruknya hubungan pada waktu itu. Jika berita ini benar, dia tentu mendengar jika Sultan Turki, Sultan Salim I Akbar, pada 1517 telah merebut Mesir.
Sultan itu pun mengangkat diri sebagai khalifah. Adanya pemusatan kekuasaan dalam dunia Islam ini menyebabkan Syekh Nurullah setelah kembali ke Nusantara dan karena terpengaruh oleh internasionalisme Islam- menganjurkan kepada Raja Demak untuk bertingkah laku sebagai raja Islam yang benar. Gelar dan nama bahasa Arab itu dapat dianggap sebagai sahnya niat untuk menjadikan Demak sebagai ibu kota Kerajaan Islam.