Kamis 06 Feb 2020 15:17 WIB

Kisah Tambuang, Menjadi Muslim di Tengah Keluarga China

Tambuang menerikan Allahu Akbar saat kerusuhan terjadi di Jakarta.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
Kisah Tambuang, Menjadi Muslim Di Tengah Keluarga China. Foto: Mualaf/Ilustrasi
Foto: Republika/Mardiah
Kisah Tambuang, Menjadi Muslim Di Tengah Keluarga China. Foto: Mualaf/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi seorang Muslim dari etnis China, Eddy Tjondronimpuno Tambuang pernah dihadapkan pada berbagai tantangan dan kisah pilu dalam hidupnya. Pria berusia 55 tahun ini tidak hanya pernah mengalami penolakan dari keluarganya lantaran memeluk Islam, tetapi juga menghadapi sentimen anti-China di era Orde Baru.

Tambuang terlahir dengan nama Tjong Hok Tjwan. Ia merupakan cucu seorang migran etnis China yang melarikan diri dari China yang dilanda perang pada tahun 1923. Kakeknya, Tjong Ting Siang, memimpin sekelompok warga China melakukan perjalanan ke Indonesia. Mereka kemudian menetap di Magelang, Jawa Tengah, tempat Tambuang dan keluarganya masih hidup.

Suatu sore di bulan Mei 1998, Eddy Tjondronimpuno Tambuang sedang bekerja ketika dia mendengar bahwa kerusuhan meletus di seluruh Jakarta. Kala itu, berita melaporkan bahwa situasinya tidak terkendali. Toko-toko dibobol dan dijarah, mobil dibakar, dan warga etnis China menjadi sasaran para perusuh yang berkeliaran di jalanan mencari korban.

Kerusuhan yang dipicu oleh krisis keuangan yang melanda Asia pada akhir 1990-an itu memanfaatkan kefanatikan yang dalam. Sentimen anti-China muncul dipicu oleh kecemburuan pada pengusaha dan pemilik toko Cina yang sukses. Sikap anti-China ini meledak di sejumlah kota besar di Indonesia, terutama di ibu kota Jakarta.

Saat kerusuhan meletus, Tambuang merasa panik. Ia ingin meninggalkan tempat penampungan pabrik di Tangerang begitu ia selesai bekerja dan pulang ke rumahnya. Namun ketika ia melangkah keluar, ia melihat supermarket besar di seberang jalan terbakar.

"Saya melihat orang-orang mendorong troli supermarket yang penuh dengan barang-barang yang sepertinya diambil dari toko. Itu mengerikan," ungkap Tambuang, dilansir di South China Morning Post, Rabu (5/2).

Tambuang lantas mencoba memanggil ojek, tetapi tidak ada pengendara yang mau membawanya. Mereka malah berkata, 'Kamu orang Tionghoa' kepada Tambuang. Ia mengatakan, mereka takut menjadi sasaran para perusuh.

Akhirnya, seorang pengendara ojek bersedia membawanya pulang. Di  jalanan kota Jakarta, Tambuang menyaksikan bentuk diskriminasi brutal yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Ia mengisahkan, saat ia masih sangat muda, ia kerap dipanggil 'China' oleh anak-anak lain sebagai nada menyindir. Begitupun saat ia dewasa, ada beberapa momen penolakan masyarakat lantaran ia seorang etnis China.

"Itu memang tidak benar, tetapi saya tidak masalah dengan itu," katanya.

Akan tetapi, apa yang disaksikannya saat kerusuhan 1998 terjadi, benar-benar membuatnya merasa takut. Ia menceritakan, kala itu orang-orang berjalan dengan memegang tongkat kayu. Mereka meminta siapa pun yang memakai helm untuk melepasnya, sehingga mereka bisa melihat wajahnya.

"Ketika mereka tahu orang itu adalah seorang Tionghoa, mereka memukulinya dengan tongkat. Itu kejam sekali," ujarnya.

Namun, beruntung Tambuang selamat dari tragedi itu. Ia percaya dirinya luput dari para perusuh lantaran warna kulitnya yang lebih gelap daripada kebanyakan etnis China. Selain itu, Tambuang mengungkapkan saat itu ia terus meneriakkan kata 'Allahu akbar' dari belakang sepeda motor.

Hal itu mungkin memang telah menyelamatkannya. Namun, Tambuang tidak berpura-pura menjadi seorang Muslim saat itu. Ia mengungkapkan, ia telah masuk Islam jauh sebelum kerusuhan terjadi. Ia menjadi seorang Muslim pada 1992.

"Saya telah terpesona oleh agama ini sejak masih di sekolah menengah. Saya biasa duduk selama jam istirahat dan mendengarkan murotal (lantunan pembacaan) Alquran dari masjid terdekat. Itu sangat menenangkan," lanjutnya.

Orang tua Tambuang selalu mendorongnya dan saudara-saudaranya untuk bergaul dengan orang Indonesia asli. Tidak seperti banyak orang China lainnya, mereka tidak ingin tampil 'eksklusif'.

Di era Presiden Soeharto, yang memegang jabatan dari 1967 hingga 1998, semua nama etnis China harus diganti dengan yang terdengar Indonesia. Selain itu, pertunjukan budaya China dilarang, sehingga memaksa integrasi lebih lanjut.

Namun, seiring tumbuhnya Tambuang di negara ini, ia memilih untuk memeluk Islam. Keputusan dirinya untuk masuk Islam membuat marah sejumlah kerabatanya. Menurutnya, salah satu adik perempuannya sangat marah.

"Dia mengirimi saya surat yang ditulis dengan tinta merah, menggunakan kata-kata yang sangat kasar dan menyebut saya barang. Saya mencoba untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh olehnya. Saya percaya saya telah membuat keputusan yang tepat untuk diri saya sendiri," ungkapnya.

Menjadi keturunan China di Indonesia dan masuk Islam telah menempatkan Tambuang dalam kelompok minoritas ganda. Menurutnya, menjadi etnis China membuatnya menjadi bagian dari minoritas di negara ini. Begitu masuk Islam, ia pun dikucilkan oleh kelompoknya dari etnis China.

"Tetapi kemudian ketika Anda juga merupakan minoritas dalam persentase kecil orang itu, saat itulah segalanya menjadi lebih tidak nyaman," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement