REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Alquran Allah SWT menjelaskan dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah syariah dan hukum, serta asas perilaku menuntun mereka ke jalan yang paling lurus dalam masalah-masalah itu; terkadang menyerahkan perincian-perincian itu kepada sunah (hadis) Nabawi dan terkadang menyerahkannya kepada akal orang-orang Muslim.
Tidak heran jika sekian banyak lafal atau ayat-ayat Alquran itu membutuhkan tafsir, karena ada ayat yang susunan kalimatnya singkat tapi luas pengertiannya; dalam lafal yang sedikit dan singkat saja terhimpun sekian banyak makna.
Di samping itu, Alquran diturunkan dengan bahasa Arab dengan segala keragaman peristilahan dan uslub yang terdapat di dalamnya. Ada yang jelas dan ada yang kiasan, ada yang umum dan ada yang khusus, ada yang terbatas dan ada yang tidak terbatas, ada yang dapat dipahami dengan isyarat dan ada yang dipahami dengan ibarat, ada yang hakiki dan ada yang majazi.
Manusia juga ada saling berbeda dalam tingkat pemahaman dan pengetahuannya. Di antara mereka ada juga yang tidak mampu memahami, kecuali makna zahir yang mudah dan dangkal.
Ada juga yang mampu menyelami dan memahami maknanya yang jauh dan dalam. Di samping Alquran sendiri turun dengan berbagai macam sebab dan latar belakang tertentu yang dapat mengantarkan ke makna yang dikehendaki, sehingga diperoleh pemahaman yang benar. Karena sebab-sebab itu, manusia sangat membutuhkan tafsir Alquran, agar dapat memahami dengan baik dan mengamalkannya dengan baik pula, sebagaimana firman Allah SWT:
“Apakah mereka tidak memperhatikan (maksud) Alquran? Sekiranya Alquran itu bukan dari Allah, tentu mereka dapati pertentangan yang banyak di dalamnya (An-Nisa': 82).
Ayat-ayat di atas menganjurkan mengajak berfikir dengan Alquran dengan baik dan mengambil pelajarannya, agar orang-orang mukmin dapat melaksanakan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Alquran dan berfikir tegak melaksanakan hukum-hukumnya dalam menegakkan kehidupan di sekitarnya berdasarkan asas dan cahayanya. Banyak perintah Allah SWT dalam Alquran kepada hamba-hambaNya, agar mereka mengambil pelajaran dari berbagai perumpamaan di dalam Alquran.
Semua itu menunjukkan bahwa mereka harus mengetahui takwil dan tafsir ayat-ayat Alquran untuk diketahui oleh kaum muslimin. Namun mustahil orang yang diperintah itu mengetahui isi Alquran kalau dia tidak mengetahui makna Alquran.
Untuk mengetahui isi Alquran perlu memiliki pengetahuan bahasa Arab dan ilmu yang terkait dengan bahasa Arab. Ath-Thabari meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, ia berkata: Siapa saja yang membaca Alquran, lalu dia tidak menafsirinya, maka dia layak bagaikan orang buta atau seperti orang Arab Badui.
Unsur lain yang menguatkan kebutuhan tafsir adalah terjadinya kesalahan-kesalahan dalam memahami isi Alquran semenjak zaman Nubuwah hingga sekarang. Sebagai contoh Ady bin Hatim bin Tay salah dalam memahami lafal khaitul abyad sebagai benang putih dan khatul aswad sebagai benang hitam.
Ini sebagaimana tersebut dalam ayat 187 surah Al-Baqarah: “...dan makan minumlah kamu, sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam dari fajar, kemudian sempurnakanlah olehmu puasa hingga malam.” Ady bin Hatim, sahabat Rasulullah SAW, memahami benang putih dan benang hitam ini menurut harfiahnya saja, hingga Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa yang dimaksud benang putih adalah siang hari dan yang dimaksud benang hitam adalah malam hari.
Baca juga : Tak Sempat Baca Surah Al-Fatihah Saat Shalat Jamaah, Apa Hukumnya?