REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahun 1963, Prof DR Hamka atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, mendapatkan surat dari umat Islam tentang mana yang benar penyebutan shalat atau sembahyang. Pengirim surat itu menanyakan mana yang lebih tepat digunakan untuk diucapkan.
Buya Hamka kemudian menjawab pertanyaan itu dengan menuliskannya di Majalah Gema Islam No tanggal 1 Februari 1963. Buya Hamka menjawab bahwa shalat yang pada umumnya diartikan sebagai sembahyang, dapat juga diartikan dengan doa, dapat diartikan dengan meminta rahmat, dan dapat diartikan memuji.
Buya Hamka mengutip Alquran Surat Al Ahzab ayat 56, yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi; Wahai orang beriman, bershalawatlah atasnya dan mengucapkan salamlah, sebenar-benar salam."
Menurut Buya Hamka, jika kita hendak mencari tafsir dari kalimat shalat di sini, niscaya bukan dari Hamka, dan bukan dari yang lain-lain. Buya kemudian mengajak untuk mencarinya ke pangkal dengan mengutip hadis Nabi:
"Shalat Allah Ta'ala atas Nabi-Nya ialah pujian-Nya di sisi malaikat. Dan, shalat malaikat kepada Nabi ialah doanya."
Kemudian, Buya mengutip hadis lainnya yang berbunyi: Shalat Rabbi (Tuhan) ialah Rahmat-Nya. Shalat malaikat ialah istigfar." (HR Tirmidzi)
Ada lagi yang sangat berjauhan artinya. Menurut pengetahuan kita dalam bahasa Arab, jama' dari shalat ialah shalawat. Tetapi di dalam Surat Al Hajj ayat 40, bertemu kalimat shalawatun, bukan sembahyang dengan arti jama' (banyak). Melainkan berarti gereja atau tabernackle atau kemah suci orang Yahudi.
Di dalam Surat Al Baraah (At Taubah) ayat 103 tertulis, "Dan shalatlah atas mereka, sesungguhnya shalat engkau adalah ketentraman bagi mereka, dan Allah adalah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
Menurut Buya Hamka, ahli-ahli tafsir, sebagaimana tersebut di dalam tafsir Ibnu Katsir, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa arti shalatlah atas mereka, artinya adalah: "Dan doakanlah mereka dan mohonkan ampunlah atas mereka." Sebab ada tersebut dalam shahih Muslim itu dari Abdullah bin Abi Aufaa, seketika Ibnu Abi Aufaa menyerahkan zakatnya kepada Nabi, maka Nabi mendoakannya:
"Ya Allah beri shalawatlah atas Ibnu Abi Aufaa."
Karena itu, lanjut Buya Hamka, dari segala keterangan itu jelaslah bahwa dengan kata-kata shalat saja belumlah tentu bahwa yang dimaksudkan ialah khusus untuk sembahyang. Nahkan, sebagaimana ditulis oleh Tuan Syekh A Hassan dalam tafsir Al Furqaan yang disebutkan bahwa shalat atau shalawat itu mempunyai beberapa arti; sembahyang, puji, beri rahmat.
Sedang kata sembahyang, bagi pemeluk agama Islam yang berbahasa Melayu sudah khusus artinya, tidak meragukan lagi. Sehingga, kalau seseorang didoakan tidaklah dikatakan "Sembahyanglah olehmu", dan kalau Allah mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW tidaklah dikatakan Allah menyembahyangkan Nabi, dan kalau Ibnu Abi Aufaa menyerahkan zakatnya, tidaklah ada ahli hadis memberi arti bahwa Rasulullah menyembahyangkan Ibnu Abi Aufaa, melainkan mendoakan, meskipun yang dipakai kalimat shalli.
Buya Hamka juga merujuk pada tafir Turjuman Al Mustafii yang ditulis oleh Syekh Abdurrauf bin Syekh Ali Al Fanshuri pada sekitar tahun 1620 masehi, menyebutkan juga dalam tafsirnya yang telah lebih dari tiga abad itu, menurut kebiasaan kita sekarang. Yaitu, shalat beliau terjemahkan dengan sembahyang.
Artinya, sudah sangat lama hal ini terpakai, sehingga sudah menjadi urf pada bangsa Indonesia. Yang urf itu menjadi salah satu dasar pemikiran agama, bahkan menjadi kaidah ushluddin: Al 'Urfu Qaadhin (Kebiasaan itu pun berlaku).
Dalam pertimbangan hukum barat disebut Historisrecht. Sehingga, untuk membatalkan atau menghukum haram atau makruh memakainya, mestilah kita memakai dasar-dasar hukum yang kuat pula. Sehingga, dapat sah menjadi dasar hukum.
"Sebab itu saya sendiri masih berpendapat bahwa memakai kalimat sembahyang tidak salah, bahkan memakai kalimat shalat itulah yang akan meminta keterangan lebih jelas, sebab dia mengandung akan berbagai makna sebagaimana tersebut dari keterangan ahli-ahli yang telah saya salinkan itu," tulis Buya Hamka mengutarakan pendapatnya.