REPUBLIKA.CO.ID, Ketika penulis tengah berada di luar negeri dalam sejumlah rangkaian muhibah ke negara-negara paling berperan dalam konflik Timur Tengah, suguhan yang tersaji bukan kabar gembira dari Tanah Air.
Pada refleksi yang lalu, penulis masih berkutat pada persoalan perkabungan ''abadi'' bangsa Indonesia karena deraan serangkaian musibah yang sepertinya belum sampai ke ujung.
Begitu akrabnya musibah datang bertubi-tubi, sampai-sampai kita menjadi terbiasa dan imun sehingga lupa untuk merenung; begaimana mungkin musibah datang silih berganti pada semua aspek kehidupan kita?
Dari sisi kategori musibah, bangsa kita termasuk paling sempurna. Daratan seperti memusuhi kita, lautan yang jarang sekali menumpahkan gelombangnya, malah bebas menerjang apa saja yang dilalui. Bahkan musibah yang jarang terjadi di udara, untuk Indonesia adalah sesuatu yang niscaya. Ya Allah, ada apakah gerangan?
Seperti biasa, kalau musibah datang berkunjung, maka sosoknya nyaris selalu menakutkan. Lantas sebagian kita mematut-matut diri bahwa ini semua datang karena Allah tengah menguji kesabaran kita sebagai umat-Nya. Sebagian kita berkeyakinan bahwa jika Allah menyayangi suatu kaum, maka Dia akan menurunkan ujian agar kaum tersebut semakin dekat kepada-Nya.
Lalu kita sendiri mengukur, menakar serta menimbang, kadar kedekatan kita kepada-Nya. Lalu muncul sikap overestimate bahwa kita termasuk umat-Nya yang paling disayang oleh-Nya sehingga pantas mendapatkan ini semua. Biasanya, bila seseorang lulus ujian, maka ia akan mendapatkan reward, tetapi jika tidak lulus, kalau ''gurunya'' baik, maka materi ujian akan terus diberikan agar dia bisa lulus dari ujian.
Banyak medium yang digunakan Allah untuk membuat semua ini terjadi. Dan terlalu mudah bagi-Nya kalau cuma ingin membuat bangsa kita tidak berdaya. Kalau ujian terus menerus datang tanpa diketahui kapan akan berakhir, maka benarkah kita telah lulus ujian? Jangan-jangan kita memang tidak pernah lulus. Nah! Kalau benar kita bukan peserta ujian yang lulus, maka kita perlu bertanya; standar muhasabah --introspeksi-- seperti apa yang selama ini kita gunakan.
Jangan-jangan ukuran yang kita pakai bukan ukuran yang ditetapkan oleh Allah. Jangan-jangan kita mengukurnya sesuai selera dan kepentingan diri kita sendiri. Atau jangan-jangan kita tidak jujur dalam mengukur kekurangan dan kekhilafan serta kealpaan kita. Atau jangan-jangan pula kita sendiri yang membuat ukuran untuk sebuah ujian yang berada di luar standar ukuran tadi.
Subhanallah! Kalau ini yang terjadi, maka kita benar-benar bukan peserta yang lulus ujian sehingga untuk masa-masa selanjutnya masih akan menerima ujian dengan cara dan bentuk yang beragam. Sampai kapan? Sampai kita tahu ukuran yang kita pakai untuk mengikuti ujian tersebut. Sungguh celaka kalau sampai kita tidak segera tahu ukurannya. Tentu ini semua terjadi karena kita tidak jujur dalam bermuhasabah.
Kita terlalu percaya diri bahwa apa yang kita lakukan selama ini sudah sesuai dengan kehendak Allah. Kita terlalu sering tidak menyelaraskan keinginan kita dengan keinginan Allah. Malah kadang-kadang kita memaksa Allah agar memutuskan sesuatu dengan kehendak kita. Atau memang selama ini kita berbuat sesuatu yang tidak dikehendak Allah SWT. Na'udzubillaahi Min Dzaalik!
Kondisi lahan persawahan dan kolam ikan yang terdampak longsor akibat pergerakan tanah di Kampung Hegarmanah, Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (12/2).
Sekarang mari kita duduk sebentar, berdiam diri, menerawang jauh ke lubuk hati terdalam sambil tetap bermuhasabah. Biasanya, jika seseorang tidak juga lulus ujian, maka dia akan menerima nasib tidak naik kelas alias tidak berada pada derajat yang diinginkan Allah SWT. Masih bagus kalau cuma tidak naik kelas, tetapi kalau akhirnya ujian ini berubah status?
Jangan-jangan ini sudah bukan tahapan ujian tetapi sudah berubah status menjadi adzab. Kalau ini benar-benar sebuah adzab, maka tentu kita masih harus tetap bermuhasabah. Apa gerangan yang salah dengan diri kita ini. Jangan-jangan kita tidak pernah gundah sebagaimana kegundahan yang pernah dialami Nabi Ibrahim AS ketika ditegur Allah SWT dalam sebuah munajatnya.
Munajat Ibrahim sungguh membuat seluruh sendinya bergetar hebat. Suara yang awalnya bertenaga mendadak melemah hingga sulit didengar. ''Ya Allah bagaimana hamba tidak akan gundah dan tidak akan terus dalam kegundahan,'' kata Ibrahim menangis.
''Adam, ayahku, tempatnya dahulu dalam kedekatan dengan-Mu. Engkau jadikan dia dengan Tangan-Mu, Engkau tiupkan kepadanya dari Rumah-Mu, dan Engkau perintahkan malaikat bersujud kepadanya, tetapi hanya karena pembangkangan yang sekali saja, Engkau keluarkan dia dari sisi-Mu,'' seru Ibrahim. ''Ya Ibraahim Amaa 'Alimta Anna Ma'shiyata al-Habiibi 'Alal Habiibi Syadiidahu. Wahai Ibrahim, tidakkah engkau tahu, pembangkangan kekasih kepada kekasih itu teramat berat?'' jawab Allah.
Firman Allah ini merupakan salah satu hadits qudsi dan diriwayatkan sebagai mauquf pada Ibrahim Ibnu Abdillah dalam kitab ''Darajaatut Taabi'iin''. Tetapi pelajaran yang kita ambil sungguh lebih dari cukup untuk membantu kita dalam mendapatkan ukuran yang pas untuk mengukur muhasabah kita selama ini. Kalau ukurannya menggunakan munajat Nabi Ibrahim, maka kita pantas gundah karena; yakinlah bahwa kita bukan hanya sekali melakukan pembangkangan kepada Allah SWT.