REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kementerian Pertanian menyatakan akan memprioritaskan riset pascapanen agar bisa mendongkrak nilai tambah komoditas pertanian dan mendukung kenaikan kinerja ekspor. Hal itu dipilih lantaran penelitian untuk menemukan varietas unggul dengan produktivitas tinggi diakui membutuhkan waktu lama.
Kepala Badan Litbang Pertanian Kementan, Fadjry Djufry, mengatakan, pihaknya akan memprioritaskan riset untuk hilirasi produk pertanian agar tak hanya bergantung pada volume produksi mentah.
"Riset kita akan lebih ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah produk kita yang bisa diekspor. Jadi jangan mentahnya saja," kata Fajdry saat ditemui di Gedung Balitbang Kementan Bogor, Selasa (25/2).
Seperti diketahui, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo membuat gerakan tiga kali lipat ekspor dalam lima tahun ke depan. Kenaikan ekspor harus bisa diikuti dengan peningkatan kapasitas produksi untuk meningkatkan jangkauan pasar komoditas ekspor.
Fajdry menjelaskan, Balitbang Kementan akan menyiapkan varietas-varietas unggul untuk kebutuhan peningkatan ekspor. Namun, kata dia dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk melakukan riset tersebut.
Sebagai contoh, khusus komoditas tanaman pangan setidaknya dibutuhkan waktu 3-5 tahun untuk bisa menemukan varietas unggul dengan angka produktivitas tinggi. Sementara komoditas hortikultura seperti buah-buahan diperlukan waktu hingga 12 tahun.
"Jadi panjang memang. Kita kan tidak serta merta ekspor. Jadi kita akan ke hilirnya karena hulu butuh waktu lama. Ekspor naik kan tidak hanya volume, tapi nilainya yang penting," ujarnya.
Fadjry pun menuturkan, ketersediaan dana riset Balitbang Kementan masih jauh dari cukup. Dana riset pertanian yang diberikan pemerintah dalam APBN setiap tahunnya hanya sekitar Rp 100-200 miliar per tahun. Sementara untuk kebutuhan diseminasi dianggarkan sekitar Rp 500 miliar per tahun agar riset yang dihasilkan bisa diterapkan oleh petani.
Untuk menjembatani keterbatasan itu, Balitbang Kementan menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga, termasuk lembaga internasional untuk bisa memperoleh bantuan maupun pinjaman dana riset.
"Intinya kita cari cara agar riset bisa dimanfaatkan. Sebab, persoalan saat ini adalah memperpendek gap antara hasil penelitian dan implementasi di lapangan," ujarnya.