REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) meminta adanya regulasi dari pemerintah yang mengatur harga minyak kelapa sawit murah melalui kebijakan domestic market obligation (DMO) seperti harga batu bara untuk PT PLN (Persero). Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan kepastian ini sangat penting bagi Pertamina dalam upaya memproduksi bahan bakar ramah lingkungan, Biodiesel 100 atau B100 dari minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
"Ongkos produksi tergantung harga CPO-nya. Kami meminta DMO untuk CPO. Jadi, CPO khusus Bioenergi. Kalau ini program nasional butuh kepastian harga karena kita butuh investasi. Makanya perlu ada regulasi CPO," ujar Nicke saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (25/2).
Pertamina, kata Nicke, siap memproses CPO untuk biodiesel menyusul penolakan produk CPO Indonesia dari Uni Eropa (UE). Nicke menilai realisasi peningkatan CPO dari saat ini 30 persen menjadi 100 persen sebagai pertanda baiknya kualitas sawit Indonesia.
Nicke menyampaikan Pertamina akan memproduksi B100 mulai 2021 di mana produksi dilakukan di Kilang Cilacap, Jawa Tengah, sebagai tahap uji coba.
"Quick Win (uji coba) pertengahan tahun depan sudah ada B100 dengan 6 ribu barel per hari. Ini membuktikan CPO kita bisa B100 dan berkualitas bagus," kata Nicke.
Nicke menambahkan, selain Kilang Cilacap, Pertamina juga akan memproduksi B100 di Kilang Plaju, Dumai. Nicke menyebut total investasi produksi B100 mencapai Rp 600 juta di kedua kilang tersebut.
Nicke mengatakan pemanfaatan kilang eksisting tersebut jauh lebih hemat ketimbang membangun kilang baru."Skemanya memang tidak bangun baru, bisa menghemat 50 persen daripada kita bangun baru. Jadi ini yang lebih kita ke depankan," kata Nicke menambahkan.