REPUBLIKA.CO.ID, Imam Abu Hamid Al Ghazali, memang lebih dikenal dengan kepakarannya di bidang tasawuf dan filsafat. Padahal, tokoh yang wafat pada 1111 Masehi itu, juga mempunyai kompetensi di bidang ekonomi.
Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya Reading in Islamic Economic Though memasukkan nama Al Ghazali ke dalam deretan tokoh pemikir ekonomi Islam fase kedua bersama-sama dengan Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan tokoh lainnya. Pada fase kedua ini wacana pemikiran ekonomi Islam telah berkembang secara intensif serta ditandai dengan perubahan dalam struktur kekuasaan Islam yang semakin luas.
Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa.
Secara tidak langsung, dia membahas masalah timbangan, pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan intervensi pemerintah dan lain-lain.
Bernand Lewis (1993) menegaskan bahwa konsep keuangan Al Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya.
Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa Al Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih.