REPUBLIKA.CO.ID, Alkisah, ada seorang raja yang zalim suatu ketika kepada sang raja akan dikirim paket minuman keras yang diangkut dengan sebuah kapal.
Tiba-tiba muncullah seorang hamba Allah yang memecahkan botol-botol minuman haram itu. Tetapi, anehnya, orang itu membiarkan begitu saja satu botol, tidak ikut dipecahkannya.
Di kapal itu tak seorang pun berani mencegahnya. Meskipun, para awak kapal amat terkejut, mengingat kekejaman dan kezaliman sang raja.
‘’Sungguh berani orang itu,’’ kata mereka. Peristiwa tersebut kemudian diceritakan kepada sang raja. Mula-mula Raja juga terkejut mendengar peristiwa yang ganjil itu. ‘’Mengapa kamu berani berbuat begitu?’’ tanya Raja.
‘’Aku melakukannya karena desakan hatiku. Jika aku dianggap bersalah, hukumlah aku sesuka raja,’’ jawab sang hamba Allah.
‘’Baiklah kalau begitu. Tetapi, mengapa kamu meninggalkan satu botol ini tidak dipecahkan?’’ tanya Raja lagi, dengan penuh rasa penasaran.
‘’Sebetulnya aku memecahkan botol-botol itu karena desakan kegairahan terhadap agama Islam. Tetapi, ketika hanya tinggal satu botol, hatiku menjadi gembira dan bangga karena aku telah berhasil membasmi perbuatan keji ini,’‘ ucapan orang itu berhenti sejenak.
Ia melanjutkan katanya-katanya: ‘’Apabila aku memecahkan botol terakhir yang satu ini, maka aku khawatir ini terjadi karena desakan nafsuku sendiri, oleh karena itu aku meninggalkannya.’’ Sang Raja tertegun, lalu berkata: ‘’Biarkan ia, karena ia dipengaruhi kekuatan yang luar biasa.’’
Pelajaran dari kisah di atas yang terdapat dalam Kitab Bahjatun Nufus, kendali hawa nafsu dalam melakukan amar ma'ruf nahyi munkar sangatlah diperlukan. Hidup ini adalah perjuangan melawan hawa nafsu (setan). Kadangkala kita menang dan kadangkala kita kalah melawan hawa nafsu setan kita.
Imam Ghazali menyebut ada tiga bentuk perlawanan manusia terhadap hawa nafsu. Pertama, nafsu muthmainnah (yang tenang). Yakni, ketika iman menang melawan hawa nafsu.
Kedua, nafsu lawwamah (yang gelisah dan menyesali dirinya sendiri). Yakni, ketika iman kadangkala menang dan kadangkala kalah melawan hawa nafsu, sehingga manusia perbuatan baiknya relatif seimbang dengan perbuatan buruknya.
Ketiga, nafsu la’ammaratu bissu’ (yang mengajak kepada keburukan). Yakni, ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik.