REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan mereka mendakwa seorang pakar linguistik Departemen Pertahanan. Ia dituntut karena mengirimkan data rahasia intelijen ke warga asing yang berkaitan dengan kelompok Hizbullah di Lebanon.
Washington mengatakan pakar bahasa tersebut mengungkapkan nama-nama aset utama intelijen AS dan membahayakan nyawa mereka. Mariam Taha Thompson ditangkap agen FBI di pangkalan militer AS di Irbil, Irak.
"Selama di zona perang, terdakwa diduga memberikan informasi pertahanan nasional sensitif termasuk nama-nama individu yang membantu Amerika Serikat ke warga Lebanon yang berlokasi di luar negeri," kata Asisten Jaksa Agung Departemen Kehakiman AS untuk keamanan nasional John Demers dalam pernyataanya, Kamis (5/3).
Perempuan berusia 61 tahun itu ditahan pada 27 Februari lalu. Ia dijadwalkan akan disidang di Pengadilan Distrik AS untuk District of Columbia. Belum diketahui apakah ada pengacara yang mendampinginya dalam persidangan tersebut.
"Jika benar, perilaku ini memalukan, terutama bagi seseorang yang menjabat sebagai kontraktor militer Amerika Serikat, pengkhianat negara dan kolega akan dihukum," kata Demers.
Departemen Kehakiman mengatakan selama proses penyelidikan. Audit menunjukan 'pergeseran penting' aktivitas jaringan Thompson di sistem rahasia Departemen Pertahanan. Penemuan itu muncul pada 30 Desember 2019 lalu. Satu hari setelah AS meluncurkan serangan udara terhadap pasukan Iran yang bermarkas di Irak dan dihari yang sama ketika pengunjuk rasa menyerbu Kedutaan AS di negara itu.
Departemen Kehakiman mengatakan informasi yang Thompson cari melibatkan puluhan dokumen sumber intelijen manusia yang tidak ia butuhkan dalam menjalankan pekerjaannya. Termasuk nama-nama, foto dan informasi pribadi sumber-sumber tersebut. Berdasarkan dokumen pengadilan yang berisi pernyataan agen FBI. Pada bulan Februari lalu agen-agen FBI menggeledah tempat tinggal Thompson dan menemukan sebuah catatan tulisan tangan yang menggunakan bahasa Arab di bawah kasurnya.
Catatan tersebut berisi nama-nama informan intelijen AS. Catatan itu mengatakan sumber-sumber itu mengumpulkan informasi untuk AS dan menyarankan agar telepon mereka diawasi dan sasaran para sumber intelijen AS itu diperingatkan. Berdasarkan pernyataan agen FBI saat diwawancarai Thompson melepaskan Miranda Rights (hak tidak menjawab pertanyaan penegak hukum). Kepada agen-agen FBI, Thompson mengatakan ia memberikan informasi tersebut kepada warga negara Lebanon.
Dokumen pengadilan mengidentifikasi orang yang menerima informasi tersebut memiliki hubungan romantik dengan Thompson. Ia mengatakan kepada FBI ia tidak tahu orang itu anggota Hizbullah, organisasi pertama yang dimasukan kedalam daftar kelompok teroris oleh AS pada 1997.
Dokumen pengadilan mencatat metode Thompson dalam memberikan informasi itu. Ia menghafal seluruh informasi rahasia lalu menuliskannya kembali dan mengirimkannya kepada penerima melalui aplikasi kirim pesan canggih di telepon genggamnya. Perempuan asal Rochester, Minnesota itu sempat mengubah pernyataanya. Ia mengatakan yakin 70 persen belum mengirimkan catatan tersebut.
Namun, dalam dokumen pengadilan penyidik mengatakan mereka memiliki bukti yang solid Thompson sudah mengirimkan detail orang yang menjadi sumber intelijen AS. Itu termasuk informasi yang ia tulis dalam catatan keduanya.