REPUBLIKA.CO.ID, “Biasanya kalau saya membawa eks-pengungsi ke mari, mereka lebih senang memilih duduk di sini,” ujar Abu Nawastewe (43) pada Rabu sore (4/3), sambil duduk bersila di atas tanah berumput di pintu masuk bekas Rumah Sakit Camp Sinam (pengungsi Vietnam).
Dataran tempat duduk berumput itu diteduhi pepohonan yang berjejer di pinggir jalan beraspal. Lokasi rumah sakit berada di turunan sisi kiri tempat kami duduk, berupa banguan tua yang telah lapuk.
“Di sinilah kami melepas rindu, berbincang tentang masa lalu, puluhan tahun lalu,” ujar Abu, salah seorang warga Pulau Galang yang memiliki selaksa kenangan tentang Camp Sinam di pulau tempatnya tinggal.
Sesaat lelaki berperawakan kecil, dengan masih berpakaian seragam biru hitam, pakaian dinasnya sebagai petugas Ditpam Badan Pengusahaan Batam, terlihat merenung memandang lokasi rumah sakit eks-pengungsi itu. Jeda sesaat yang dilakukannya seakan mengumpulkan kembali ingatannya atas kejadian puluhan tahun lalu karena sejak berumur tiga tahun, dia telah bergaul dengan para pengungsi Vietnam.
Abu lahir di Sulawesi pada 1977. Dalam masa umur tiga hari dia telah dibawa orang tuanya merantau ke Selat Buaya di daerah Senayang (sekarang wilayah Kabupaten Lingga, Kepri) dan pada 1980, saat dia berumur tiga tahun orang tuanya membawanya pindah ke Sijantung, kampung nelayan di Pulau Galang.
Saat bermukim di Sijantung yang merupakan perkampungan penduduk yang berbatasan dengan kamp pengungsi inilah, ia berbaur dengan para pengungsi Vietnam yang telah terlebih dahulu dimukimkan di Pulau Galang sejak 1979 sampai 1997. Lokasi pengungsian itu luasnya 80 hektare sebagai tempat tinggal pengungsi Vietnam dan Kamboja dengan jumlah pengungsi 250.000 jiwa.
Para pengungsi yang lebih dikenal sebagai manusia sampan itu dikumpulkan di Pulau Galang setelah sebelumnya mereka berdatangan ke Serasan (Kabupaten Natuna), Tanjungpinang, dan Batam. Leluasanya ia bermain dengan anak pengungsi dan ikut membesar bersama mereka di dalam kamp karena ibunya bekerja di Koperasi Puskopal. Jadi, Abu kecil leluasa bergaul dengan orang Vietnam dan anak-anak di tempat itu.
Diakuinya, pada masa kamp Vietnam, masyarakat di desa sekitarnya hidup makmur karena hasil tangkapan ikan dapat ditampung di kamp, sedangkan masyarakat desa juga dapat membeli kebutuhan harian di kamp. Selain ada koperasi yang menyediakan beras, juga ada pasar.
“Saya masih ingat, kehidupan pada masa itu sangat menyenangkan. Ibu saya bekerja di koperasi Puskopal, beras selalu tersedia, walau ayah penggarap kebun. Kalau sakit, kami yang tinggal di luar kamp dapat berobat gratis, bahkan saat saya sunat biayanya gratis, juga dapat uang dan kain sarung,” tutur ayah tiga anak itu sambil tertawa.
Abu yang juga lebih dikenal dengan sapaan Abu Galang itu, menuturkan lokasi tempatnya sekarang bekerja, ketika dahulu dihuni sangat ramai. Pemukiman para pengungsi berupa barak, bangunan dua lantai dari kayu.
“Bawahnya untuk dapur dan bagian atas tempat tinggal,” ujar Abu menceritakan bentuk bangunan barak.
Barak yang dibangun memanjang tersebut tidak untuk hanya untuk satu keluarga tapi banyak keluarga. Ada yang bersekat per kamar dan ada pula yang los untuk individu tanpa keluarga.
Di kawasan lokasi pemukiman yang terbagi empat zona itu, tidak hanya terdapat barak, juga dilengkapi dengan fasilitas umum ada rumah sakit, sekolah, pasar, kedai kopi, gudang logistik, lapangan olahraga, pos pengamanan, bioskop, dan gedung video.
“Gedung video ada empat tempat. Semula bioskop tapi tutup karena kurang laku lalu dibuatlah gedung video untuk orang menonton film. Kaset video diputar dan kami menonton pada tabung teve,” kata Abu seraya menambahkan masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di kamp daripada bergaul dengan sesama warga kampungnya Sijantung.
Berbaur
Ingatannya berbaur dengan para pengungsi bukan dalam masa singkat. Sejak masih balita hingga umur mencecah 19 tahun, ia hidup bersama para pengungsi dan bermain bersama. Berkelahi dengan anak-anak pengungsi adalah kesehariannya.
Bahkan, dia punya dua keluarga angkat Vietnam tempatnya tinggal di dalam kamp. Mereka adalah Mr. Phuc dan Ci Kuchi.
“Awalnya saya jadi anak angkat Mr. Phuc, sempat saya akan dibawanya pindah ke Australia, tapi ibu saya tidak kasih,” katanya.
Kepergian Mr. Phuc bersama keluarganya tidak membuat dia terlalu berduka karena masih ada Chi Kuchi yang juga ibu angkatnya yang dipanggil Mama Chi. Dengan keluarga Chi, semula dia bergaul rapat dengan tiga anak warga asing itu.
Ia tumbuh bersama tiga anak Mama Chi yang menjadi sahabat karibnya, yakni Thanh, Anyang, dan Mueyai.
Dari merekalah, Abu kecil fasih berbahasa Vietnam dan ada seorang teman Vietnamnya yang disapa Son Indo pandai pula berbahasa Indonesia. Abu di kalangan warga Vietnam dipanggil dengan sebutan “Bhu”.
Kalau berada di kamp sepeninggal Mr. Phuc, dia tinggal di barak Mama Chi yang dulunya saat di Vietnam merupakan keluarga pengusaha. Walau hidup sebagai pengungsi, Mama Chi tetap membuka usaha berdagang kue, sedangkan Abu-lah yang mengantarkan kue tersebut ke kedai.
“Kue buatan Mama Chi enak. Kuenya disebut banh do pown terbuat dari kacang. Sangat laris. Pagi kue diantar, sorenya jemput uang,” ujar dia.
Kehidupannya dengan keluarga Mama Chi berselang cukup lama. Walau keluarga angkatnya beragama Katolik dan Abu seorang Muslim, tidak mengurangi kekerabatannya dengan keluarga Vietnam tersebut.
“Saya kalau di barak Mama Chi, perlengkapan makan dan alat masak untuk saya dipersiapkan berbeda. Dia tahu saya Muslim walau saat itu saya masih anak-anak tetapi piring saya dan kuali masak tidak akan sama dengan mereka. Mama akan menyiapkan hidangan khusus untuk saya,” ungkap Abu.
Kasih sayang yang diberikan keluarga Chi padanya hingga kini masih berbekas. Bahkan dahulu dia masuk dalam daftar keluarga Chi yang akan dibawa ke Amerika Serikat dan sudah disetujui oleh UNHCR. Namun, orang tuanya tidak mengizinkan dia pergi jauh dari mereka.
“Yang berkesan saya tinggal dengan Mama Chi. Dia pernah jahit celana saya yang koyak. Kalau saya tidak ada, siapa yang akan urus kamu. Itu kata-kata Mama Chi yang paling berkesan,” kenang Abu.
Kasih sayang yang dirasakannya dari keluarga Vietnamnya itu harus berakhir dengan perginya keluarga tersebut ke Amerika bersama ratusan ribu pengungsi lainnya ke berbagai negara. Seketika, kamp yang semula sebagai kota yang ramai, selalu hiruk pikuk dengan kisah kehidupan, akhirnya kembali sepi.
Pulau Galang yang telah mengharumkan nama Indonesia karena misi kemanusiaan itu, akhirnya kembali sunyi seperti 17 tahun sebelumnya. Abu mengatakan, sangat sulit bagi dirinya melupakan keluarga angkatnya itu. Walau berbeda bangsa, agama, dan budaya, jalinan kekeluargaan dan kasih sayang yang didapatnya dari keluarga Chi membuatnya kehilangan.
Itu sebabnya, pada masa tahun pertama kamp tersebut ditinggalkan, Abu masih acap ulang alik ke barak tempat tinggal keluarga angkatnya dahulu. Kadang dia tidur di situ walau tidak ada orang lain. Barulah setelah rumput dan ilalang makin panjang tumbuh sekitar barak, Abu tidak berani. Akhirnya, lokasi barak yang berada di zona i itu ditumbuhi semak belukar dan barak pun roboh.
Keberadaan Camp Sinam hingga kini selalu masih dirindu para pengungsi. Bahkan eks-pengungsi yang tinggal di berbagai negara telah saling terhubung dengan membuat jaringan komunikasi dalam grup Galang Camp, dan Abu salah seorang anggota grup.
“Saya masih selalu berkomunikasi dengan eks-pengungsi, baik melalui WA, FB, ataupun saya pakai aplikasi mereka Viber dan Zalo,” katanya.
Ia mengatakan walau telah berpisah puluhan tahun dan selalu berada dalam lokasi kamp karena 13 tahun pula dia bertugas sebagai sekuriti di kawasan yang kini menjadi objek wisata sejarah itu, tapi hubungannya dengan keluarga angkatnya tetap berlanjut.
“Terakhir beberapa hari lalu kakak angkat saya 'video call' memperlihatkan kondisi mama yang tua dan tidak bisa apa-apa. Kakak saya bilang mama sudah pikun, tapi dia masih ingat saya,” ungkap Abu yang hingga kini masih berbahasa Vietnam apabila berhubungan dengan teman-temannya pada masa lalu.
Sejak Covid-19 (virus coronabaru) mewabah, sejumlah masyarakat menuntut pemerintah untuk mendirikan rumah sakit khusus untuk menangani pasien penyakit menular. Apalagi saat pemerintah hendak memulangkan 250 orang warga negara Indonesia dari Wuhan. Mereka harus diobservasi dulu selama 14 hari sesuai dengan protokol kesehatan dunia.
Lokasi observasi sempat menjadi perdebatan. Akhirnya pemerintah memilih Lanud Raden Sadjad Ranai di Natuna sebagai lokasi observasi. Setelah itu, pemerintah memutuskan untuk mengobservasi WNI dari kapal pesiar di Pulau Sebaru Kecil, Kepulauan Seribu, Jakarta, juga untuk misi kemanusiaan dari ancaman Covid-19.
Tapi tampaknya itu belum cukup. Pemerintah memutuskan untuk membangun rumah sakit khusus penyakit menular, untuk mengobservasi dan mengobati warga yang terinfeksi. Presiden mengumumkan rencananya untuk menggunakan rumah sakit di bekas kamp Vietnam di Pulau Galang, Kota Batam Kepulauan Riau.