REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perundungan dalam bentuk verbal maupun fisik masih kerap dianggap sepele. Padahal, jika tidak hal tersebut segera diintervensi, korban perundungan berisiko mengalami gangguan mental, krisis kepercayaan diri, hingga mengakhiri hidupnya.
Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menekankan pentingnya intervensi sekolah untuk menekan kasus perundungan. Kepekaan, kepedulian, dan rasa empati dari guru diyakini mampu menghentikan perundungan.
“Jadi, misalnya, kalau guru melihat anak yang biasa ceria jadi murung, nilai anak yang biasa bagus jadi menurun, atau ada gerak-gerik yang mencurigakan lainnya, coba ditanya kenapa. Karena pasti dia ada masalah. Guru-guru harus peka,” kata Retno sesudah menjadi pembicara di SMPN 109 Jakarta Timur, Jumat (6/3).
Selama ini, menurut Retno, masih banyak guru yang menyepelekan aduan perundungan dari siswa. Bukannya melindungi atau merespons dengan baik, ada saja guru yang malah menilai korban terlalu baper (terbawa perasaan). Alhasil, kasus perundungan di sekolah terus bermunculan.
“Di sekolah, orang tua anak kan guru. Jadi, memang anak harus ngadu ke guru jika ia jadi korban bully. Nah, sayangnya masih banyak guru yang tidak merespons aduan itu dengan baik, malah si anak disuruh sabar, dibilang baper atau lainnya,” kata Retno.
Idealnya, menurut Retno, guru bisa menjadi pendengar yang baik bagi korban, menjadi pelindung korban, sekaligus menegur dan mengedukasi pelaku perundungan secara baik. Pasalnya, bisa jadi pelaku perundungan itu juga merupakan korban.
“Mungkin pelaku tidak mendapat perhatian atau didikan keluarganya tidak baik. Jadi, jangan juga menegur dan memberi hukuman secara tidak bertanggung jawab. Hukuman boleh diberikan, tapi ada caranya, ada aturannya, agar kasus perundungan itu selesai dan tidak memicu masalah baru,” kata Retno.