REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat M. Ridwan Kamil meminta kepala sekolah memperbanyak fasilitas mencuci tangan beserta sabun pembersih di sekolah sebagai upaya pencegahan virus corona (COVID-19). Ia juga meminta kepala sekolah mengintensifkan kerja bakti di lingkungan sekolah ditambah penyemprotan disinfektan.
"Kami juga meminta kepala Disdik (Dinas Pendidikan) agar para kepala sekolah meningkatkan gerakan hidup bersih dan sehat di sekolah, seperti rajin mencuci tangan bagi siswa, guru, dan penghuni sekolah lainnya, menjaga kesehatan tubuh dengan makanan bergizi dan minum vitamin, serta rajin berolah raga," kata dia di Bandung, Selasa (10/3).
Pada Senin (9/3), Gubernur Ridwan Kamil atau yang akrab disapa Kang Emil itu, memberi arahan kepada 27 kepala dinas pendidikan kabupaten/kota dalam rapat koordinasi di kantor Dinas Pendidikan Provinsi Jabar di Kota Bandung. Rakor itu digelar agar langkah yang diambil Disdik kabupaten/kota seirama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang memang bersumber dari protokol penanganan virus corona pemerintah pusat.
Pada rapat tersebut Kang Emil juga memberikan sejumlah langkah pencegahan penularan COVID-19. "Kami harap di daerah tidak ada lagi keputusan mahiwal atau beda sendiri tanpa sebuah kesepahaman. Saya ingin mendengar sekolah-sekolah dalam kendali bapak/ibu (kepala Disdik) melakukan gotong royong, pembersihan-pembersihan. Jadi, kita ada respons positif," lanjut dia.
Selain pencegahan pertama, Kang Emil juga menginstruksikan seluruh kepala dinas agar sekolah proaktif mengedukasi siswa dan orang tua. Terutama, yang berkaitan dengan status kesehatan COVID-19 yang sering menimbulkan kesalahpahaman.
Ia mencontohkan dua kategori pasien COVID-19, yaitu orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP). ODP merujuk pada orang dengan sejarah interaksi dengan orang yang positif corona atau pernah berkunjung ke negara terpapar corona, tapi masih sehat dan tidak masuk rumah sakit.
“Lalu ada pasien dalam pengawasan (PDP). Orang ini masuk rumah sakit atau 'suspect', nanti hasil tesnya si orang dalam pengawasan ini bisa positif atau negatif,” kata dia.
Edukasi itu, katanya, penting karena bercermin dari perlakuan diskriminasi kepada salah satu siswa sekolah di Kota Depok. Siswa itu didiskriminasi lantaran orang tuanya bekerja di rumah sakit yang pernah merawat pasien positif COVID-19.
“Tidak boleh ada stigma-stigma yang keliru terhadap suatu laporan hanya karena gara-gara orang tuanya bekerja di rumah sakit, terus anaknya kena 'bully', juga, karena datang dari pengetahuan yang terbatas dari para orang tua. Tapi itu sudah diselesaikan,” katanya.
Dalam hal komunikasi publik, ia meminta kepala dinas dan kepala sekolah berkoordinasi terlebih dahulu dengan Pusat Informasi dan Koordinasi COVID-19 Jawa Barat (Pikobar) atau Pikobar di kabupaten/kota masing-masing sebelum mengeluarkan pernyataan ke publik melalui media massa. Ia meminta kepala dinas mengerem kegiatan sekolah studi banding ke luar provinsi dan luar negeri, atau perjalanan dinas lain yang sifatnya menguras fisik.
Begitu pula kegiatan luar ruangan agar digeser ke semester depan. “Lalu hindari keramaian-keramaian yang anak siswa didik itu harus berkelompok dalam satu kegiatan, saling berdampingan, dan berinteraksi secara fisik. Karena penyebaran virus ini banyak lewat cipratan seperti orang batuk, bersin,” katanya.
Ia menilai situasi saat ini sebagai plus penanganan yang dilakukan pemerintah pusat, kegiatan belajar mengajar di sekolah masih memungkinkan dilaksanakan, dan hingga kini belum ada urgensi meliburkan sekolah.