Umat Muslim sempat menjadi mayoritas di Xinjiang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini Pemerintah Kota London (CLC) mencabut gelar kehormatan Pemimpin de facto Myanmar. Hal ini dilakukan karena perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap masyarakat minoritas Muslim Rohingya.
Terlalu banyak kejahatan junta militer Myanmar terhadap Umat Islam yang menetap di wilayah Rakhine, dulu bernama Arakan terletak di pantai barat Myanmar. Puncaknya, junta militer melakukan pembersihan etnis atau genosida terhadap Muslim Rohingya.
Padahal suku Rohingya atau Rooinga sudah menetap di Arakan sejak abad ke-7 masehi. Komunitas muslim mendiami wilayah Kerajaan Mrauk U di Arakan yang dipimpin oleh raja Buddhis bernama Narameikhla atau Min Saw Mun. Narameikhla sempat diasingkan di kesultanan Bengali (Bangladesh).
Daerah kekuasaan kesultanan ini mencakup wilayah negara Bangladesh saat ini, India bagian Timur, dan bagian Barat Myanmar, termasuk Rakhine saat ini. Kemudian berkat bantuan Sultan Bengal, Narameikhla mendapatkan takhta di Arakan.
Menurut Wilhem Klein dalam Burma, The Golden, setelah itu Narameikhla mendapatkan tahta dia memeluk Islam dan berganti nama jadi Suleiman Shah. Kemudian membawa orang-orang Bengali ke pemerintahannya dan lahirlah komunitas Muslim di Arakan.
Pada tahun 1420 Arakan berubah menjadi kerajaan Islam hingga 350 tahun lamanya. Pada tahun 1824, Arakan menjadi koloni Inggris. Kemudian terjadi perseteruan antara etnis Burma dan orang-orang Rohingya, yang terus terjadi sampai sekarang. Akibatnya banyak orang-orang Rohingya mengungsi ke Bengali.
Pada tahun 1942 Jepang datang menginvasi, Inggris terdesak hingga ke Arakan Utara dan meminta bantuan kepada orang-orang Rohingya. Kerja sama tersebut membuahkan hasil, Inggris merebut kembali Arakan pada 1945. Sebagai tanda jasa, orang-orang Rohingya meminta kemerdekaan di wilayah Maungdaw. Inggris pun mengabulkannya. Pengungsi Rohingya, yang terusir ke Bengali dalam kerusuhan tahun 1942, akhirnya kembali ke kampungnya.
Namun pascakemerdekaan Myanmar pada 4 Januari 1948 yang didapat dari hasil dari Konferensi London, justru keberadaan orang-orang Rohingya tidak diakui oleh pemerintah Myamnar kala itu. Identitas orang-orang Rohinya inilah yang jadi pangkal konflik berkepanjangan.
Berdasarkan undang-undang warga negara tahun 1982 pemerintah hanya mengakui 135 etnik, dan Rohingya tidak tercantum di dalamnya. Sehingga inilah yang menjadi dalil, bahwa Rohingya adalah pendatang ilegal dari Bangali.