REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku usaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI) bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Selasa (17/3). Mereka mengeluhkan adanya moratorium perizinan kapal yang membuat penangkapan udang tak bisa dilakukan dengan maksimal terutama di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718 yang terbentang dari Laut Aru-Arafura dan Laut Timor bagian timur.
Perwakilan HPPI Djoko Kusyanto menyampaikan berdasarkan kajian HPPI, potensi udang di wilayah tersebut mencapai 50.250 ton dengan nilai Rp 10 triliun per tahun.
"Seluruh kapal dari HPPI lulus anev (analisis dan evaluasi). Namun karena sebagian besar kapal buatan luar negeri, tidak bisa operasional," keluh Djoko kepada Edhy dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (18/3).
Ketua HPPI Endang S Roesbandi memaparkan penangkapan udang tak bisa maksimal antara lain karena larangan penggunaan pukat udang serta kapal yang digunakan saat menangkap harus di bawah 100 GT. Para pengusaha, kata dia, beralih dari dari penangkapan ke pengolahan udang dengan bahan baku dari tangkapan nelayan.
"Tapi hasil dari trammel net (nelayan), kepalanya cacat, sungutnya hilang, ada yang matanya hilang. Tidak sempurna akhirnya untuk ekspor tidak bisa first grade," ucap Endang.
Edhy memastikan akan melakukan kajian terlebih dahulu. Ia mengatakan, kebijakan yang akan dihasilkan akan lebih mengutamakan kepentingam bersama.
"Kasih kami waktu, kami tidak akan bikin peraturan semena-mena," ucap Edhy.
Kendati akan mengevaluasi regulasi, Edhy mengingatkan para pelaku usaha juga memiliki komitmen dalam hal kelestarian, terutama udang. Edhy menegaskan akan terus mengawal WPP718 dari penangkapan ikan secara ilegal.
"Kalau Indonesia, semangat memilikinya ada. Ini semata-mata menjaga laut kita untuk lestari," kata Edhy menambahkan.