REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Tujuh usaha tambak udang vanname di Pesisir Barat Provinsi Lampung, membutuhkan izin operasional untuk melanjutkan usaha budi daya udang. Saat ini usaha tambak udang ekspor tersebut terhenti setelah ditutup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pesisir Barat, Lampung.
Shrimp Club Lampung (SCL) yang membawahi sejumlah petambak udang vanname di Lampung meminta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan izin operasional kepada tujuh usaha tambak udang di pesisir barat tersebut. Saat ini, petambak merasa ragu-ragu untuk melanjutkan budi daya udang setelah ditutup sepihak oleh pemkab.
Surat yang ditandatangani Ketua SCL Ali Kuku dan Ketua Harian SCL Ismail Said menyebutkan, terdapat tujuh tambak anggota SCL yang ditutup Pemkab Pesisir Barat. Alasan pemkab, kawasan tambak tersebut masuk dalam wilayah Perda RTRW yang telah dialihfungsikan menjadi zona pariwisata pada akhir November 2019.
Sejak saat itu kegiatan budi daya udang ekspor tersebut otomatis tutup. Ketujuh tambak yang dimaksud adalah PT Sumatera Seafood Indonesia di Desa Tanjungjati, Kecamatan Lemong; Andi Riza Farm di Desa Way Batang, Kecamatan Lemong; Lemong Farm di Desa Padang Dalam, Kecamatan Lemong; Archi Ferdiani di Desa Parda Haga, Kecamatan Lemong; Johan Farm di Desa Way Jambi, Kecamatan Pesisir Selatan; Andy Handoyo Farm di Desa Biha, Kecamatan Pesisir Selatan; dan L. Hendra Raharja di Desa Marang, Kecamatan Pesisir Selatan.
SCL meminta kepala BKPM untuk menerbitkan izin operasional sebagai landasan hukum untuk kembali beroperasinya tambak tersebut. Ketua Harian SCL Ismail Said yang dikonfirmasi terkait surat tersebut mengatakan, sebetulnya Ombudsman RI sudah mengizinkan ketujuh tambak beroperasi kembali. Namun izin dari Ombudsman tersebut belum kuat karena hanya merupakan berita acara rapat.
“Untuk itu kami minta Kepala BKPM menerbitkan izin operasional, meskipun sebetulnya izin tambak tersebut masih ada yang belum habis,” ujar Ketua Harian SCL Ismail Said di kantor SCL Bandar Lampung dalam keterangan persnya, Selasa (10/3).
Surat SCL kepada BKPM tersebut setelah adanya desakan tujuh petambak yang masih ragu-ragu untuk melanjutkan usahanya. “Jika ada surat penegasan dari BKPM bahwa tambak tersebut diizinkan beroperasi maka landasan hukumnya kuat sehingga tidak ada alasan bagi petambak untuk takut melanjutkan budidaya,” lanjutnya.
Ismail mengaku, dengan tutupnya ketujuh tambak tersebut tentu akan berpengaruh secara signifikan terhadap produksi udang ekspor asal Lampung. Bahkan efek dominonya, tidak saja merugikan petambak karena hilangnya potensi keuntungan, tetapi juga merugikan perusahaan pakan, benur dan obat-obatan karena turunnya omzet. Lebih-lebih pekerja warga setempat yang kehilangan pendapatan bulanan dan warga sekitar yang kehilangan pendapatan dari penjualan sembako, dan lain-lain.
Ismail menyesalkan, kenapa sewaktu membahas perubahan RUTR tersebut petambak yang sudah eksis sejak tahun 2004, jauh sebelum kabupaten itu dibentuk, tidak diajak berembuk sehingga persoalannya tidak seperti sekarang. Menurut dia, untuk mengembangkan kawasan pariwisata tidak semudah yang dibayangkan. Pariwisata di Bali saja yang sudah populer saat diterpa wabah virus corona, turis mulai berkurang. Sedangkan rencana kawasan pariwisata di Krui, Pesisir Barat yang dalam RTRW tersebut masih sangat jauh karena infrastrukturnya belum mendukung.